Jutaan
keping potongan pikirannya melayang-layang. Terapung di lautan luas. Terkepung
rasa bosan. Entah kapan menepi dan berhenti
di sisi pulau dan segera menetap. Akal tak lantas bergembira dengan
imaji-imaji edan dan kaku membelilit akar otak. Segera, jika dapat dipotong
kecil-kecil maka akan dia lakukan. Menjadi sel-sel yang tak terlihat dan tak
terbaca. Biar tak ada ilusi dan cantiknya kupu-kupu terbang hinggap di mahkota bunga. Perempuan ini, terlalu sepi untuk diam dan
terlalu bising untuk teriak. Terkapar di tengah lautan dan masih nihil
berharap. Kapan kata-kata akan menyapa dan memungutnya segera. Kemudian angkat dari kengerian diri
yang tak terejawantahkan.
“tidak
sur...jangan menungguku”, perempuan
berkerudung hitam lebar dan bercadar itu mulai beranjak dari rumah sempit ini
dan mengambil sepeda angin yang sudah usang dan berkarat.
Kayuhan
keras kakinya tetap tak membawa sepeda berkeranjang itu cepat melaju. Sedang sepasang mata mengikuti perginya sampai ujung jalan. Diam, menatap dalam
dan sambil meronce mote, dialihkan pandangnya ke pernak-pernik mote, payet dan
batu hias di cepuk-cepuk kecil. Masih,
kusutan benang yang ada di otaknya
semakin memintal, tak karuan, dan brantakan. Jika kudu menyisir, tak cukup puluhan tahun
sisa hidupnya agar lurus kembali.
Perempuan
berkerudung itu sering dipanggil mbak Ning. Hanya dua perempuan yang tinggal di
kontrakan sempit tanpa ada akses jalan. Kontrakannya tertutup rumah
berlantai dua dan berpagar tinggi. Gang sempit satu meter satu-satunya
jalan menuju pintu kontrakannya.
Pagi-pagi
sekali perempuan itu mengendap-ngendap memasuki gang sempit. Sandal hak
tingginya di lepas. Jaket jeans biru muda tergantung di pinggang. Rok hitam
pendek tertutup kain pantai yang diikat di pinggangnya.
Beberapa
saat tangannya memutar gagang pintu, terdengar suara perempuan berisik dan
sesekali terdengar sabetan kain panjang yang mengenai tubuh seseorang dan
berulang kali. Suryani hanya diam. Yah, hanya duduk sambil membersihkan make-up
nya.
Suasana
kembali hening. Tampak dua wajah yang lesu dan tenang. Meski gejolak amarah
masih menguntit di wajah Ning, perempuan yang terlihat kerut di dahinya itu
tampak kalem.
“aku
tahu kita susah....ketiga anakku butuh biaya di pondok. Tak mungkin aku
mengharapkan Mas mu datang ngasih jatah bulanan”, dibenahinya posisi mukena
bagian kepalanya sambil menatap adiknya. Suryani masih diam. Wajahnya yang
lebih muda, dan segar hanya menatap Ning sekilas lalu mulai ganti baju daster
pendek. Tak dihiraukannya ada manusia lain yang mengusiknya.
“kau...mana
bisa diberitahu. Aku seperti bicara dengan sebongkah batu”
“kau
itu istri tua mbak... istri pertama. Seharusnya kamu itu menang. Minta hak pada
suamimu agar dipelihara anak-anak dan kebutuhanmu. Eh kau ini....malah
menyingkir dan mengalah. Pergi dari rumah dan pilih menyepi disini”
“kau
seharusnya bersyukur. Kau bisa numpang hidup denganku. Anak-anakku hidup di pondok
dan kau tak susah payah ikut memelihara anakku”
“Sudahlah
aku mau tidur”
“Kau
ini....sudah sholat Isyak belum”
“aku
tak perlu laporan padamu kalau sudah sholat belum”, sahut Sur dengan cepat.
Mendenguslah Ning dengan keras. Rasanya ia tak bisa berhenti emosi jika bertemu
dengan perempuan ini.
--o0o—
Siang
ini amat terik. Kain-kain kering yang bergelantungan di tembok-tembok saling
berpagutan. Keluarlah perempuan dengan membawa keranjang. Ditariknya baju-baju
dan kerudung besar ke dalam keranjang birunya. Sesekali angin berhembus
melewati gang kecil itu. Kering dan panas. Dulu ada sebatang pohon besar di
samping rumahnya, tempat Sur dan beberapa tetangga duduk dan ngobrol perihal
macam-macam. Dulu, sebelum ia berkutat dengan pekerjaan yang menyita obrolan banyak orang. Tetangga yang dulu
datang berkerumun dibawah pohon, kini menghilang. Mereka ganti berkerumun di
pos ronda dan sering membicarakan dua perempuan yang hidup di gang kecil ini.
Mereka tidak lupa. Yah, Mereka tidak pernah lupa untuk tidak menggunjing
perihal kecil dalam hidup kedua perempuan itu.
Ketika
Sur lewat untuk sekedar membeli teh dan sayur matang di warung sebelah, obrolan
beberapa perempuan itu tiba-tiba hening. Mereka pura-pura mengunyah makanan.
Padahal tak sedikitpun telinga Sur ia gunakan untuk menguping. Tak pula
diulurkan senyumnya untuk mereka. Ia pasang wajah acuh. Ia tak berpikir untuk
akur dengan keadaan. Sudah hancur, hancurkan saja kepercayaan pada tetangganya
itu.
Tiba-tiba
Ning berlari-lari menyusuri gang sempit itu, tanpa sepedanya. Nampak merah dan
berkeringat wajahnya. Cadarnya tak ia kenakan seperti biasa. Ia berlari lagi
kembali ke jalan dan menghampiri perempuan- perempuan yang berkumpul di pos
ronda. Ia bicara sedikit lalu bergegas lari menuju warung makan yang terletak
di pojok kampungnya. Tak dihiraukannya pertanyaan seorang tetangganya mengapa
ia amat tergesa-gesa?
“Sur,
aku butuh duitmu. Cepat kau kasih aku tiga ratus dan besok-besok aku
kembalikan”, sontak Ning menggeret lengan Sur dengan cepat. Ditolehnya wajah
perempuan yang terlihat panik itu.
“Mana
sepedamu?”, Sur agak heran karena perempuan itu terengah-engah dan memegang
dadanya.
“cepat,
tak usah banyak tanya. Penting sekali ini”
“Kapan
kau kembalikan”
“Kau
bawa uang kan.... dimana cepat kau kasih aku”, desak Ning sambil
menggoyang-goyang lengan adiknya itu. Segera ia keluarkan dompet yang ada di
saku celana jeans-nya.
“Ini
.... kau kembalikan saja seratus. Yang dua ratus ribu anggap saja buat
bayar listrik dan uang makanku.”
Disahutnya uang merah tiga lembar itu. Lalu segera ia berlalu dan berlari ke
arah dia datang. Sur hanya diam terpaku di depan warung. Ia sudah terbiasa meminjami
uang kakaknya dengan alasan untuk membiayai anaknya yang ada di pondok atau
menebus obat untuk anaknya yang sedang sakit. Hasil dagangannya berkeliling
hanya cukup untuk membayar uang kontrakan perbulan. Sejak ia bekerja di tempat
karaoke, keuangannya cukup bisa membantu biaya hidup mereka berdua. Hanya
perdebatan-perdebatan kecil yang sering dilakukan kakaknya membuatnya tidak
betah di rumah. Namun ia sadar, rasa sayangnya pada perempuan cerewet itu tidak
bisa dikurangi, juga tak bisa ditambah.
--o0o-
Malam
terpekur di dalam penatnya jarum jam berdetak. Angin malam berisik memainkan
ranting pohon dan sobekan poster
dibelakang rumahnya. Dapur kecilnya hanya ia tutup dengan bekas poster yang ia
tempelkan di tiang bambu. Mata perempuan itu mulai lelah. Diletakkan nya mote,
jarum dan benang di cepuk plastiknya. Diberesi jahitan baju pesanan penjahit
kampung sebelah. Ia hanya bisa menyelesaikan pesanan menjahit mote yang tidak
terlalu rumit. Misal hanya di ujung lengan atau bagian dada. Dengan demikian ia
dapat pemasukan untuk membelikan baju koko untuk ketiga anaknya yang ada di
pondok.
Napas
Ning mendesah kuat. Dihentikan tangannya yang sedari tadi memberesi baju-baju.
Jarum menunjukkan pukul 12 malam. Mengapa suara telapak kaki Sur tidak lekas ia
dengar-dengar?. Ia memang selalu menunggu adiknya pulang meski wajahnya berubah
masam saat berhadapan dengannya. Ia selalu ingin membuat keributan dengannya.
Seolah dengan meneriakinya tentang segala hal, hatinya akan lega. Yang pasti
adalah cara berpakaian Sur yang harus mengenakan celana jeans dan kaos ketat
saat bekerja. Meski ia sendiri tak yakin membuat ia mau memakai kerudung
seperti dirinya. Kadang ia menyalahkan ibunya yang terlalu bebas terhadap
pilihan anak-anaknya.
Ia
mulai panik saat jarum panjang menuju angka 6. Sudah dini hari dan Sur belum
pulang. Ingin rasanya ia tak perlu menganggap penting perihal ini. Tapi ini
memang diluar kebiasaannya. Ia mulai mengeluarkan sepeda mininya. Dikenakan
kerudung hitam lebarnya dan bergegas keluar. Angin malam menyapa dengan sabitannya
di ujung-ujung kerudung. Dadanya mulai panas. Jantungnya berdegup kencang. Ia
mulai membayangkan yang buruk-buruk.
“Kau
ini kemana saja Sur....kenapa kau tak sampai-sampai”, gumamnya dalam
perjalanannya menuju jalan besar. Barangkali Sur tak menemukan angkot di
pinggir kota. Atau tak ada yang ia tumpangi sampai ke rumah. “ Sur.... Sur ....
“, desahnya dalam hati. Ia ingin kemungkinan skenario yang ia bayangkan salah
satunya terjadi, bukan hal yang buruk. Namun pikirannya yang tidak enak terus
saja mengganggu. Tak biasa ia merasa aneh malam ini.
Tiba-tiba
matanya terpana pada kerumunan di suatu ruko bertingkat. Ia mendekat perlahan.
Ia sedikit takut. Ada beberapa polisi yang membawa tongkat dan menggeret
beberapa orang ke mobil bak terbuka. Tak ada sirine seperti dalam Televisi,
namun kebisinginan karena kacaunya jalan menjadi tontonan banyak orang.
“Apa
yang terjadi.... Sur ...kamu disitukah?’, tanyanya dalam hati. Di benaknya
ramai adu pendapat. Apa mengapa dan bagaimana keadaan adiknya. Ia beranikan
diri melongok di mobil bak terbuka milik kepolisian itu. Ditanyanya 3 perempuan
cantik dan berbaju seksi itu dengan cepat.
“Mbak,
dimana Sur... Suryani, yang berambut pendek dan punya tahi lalat di bawah
mulut”, tanyaku berulang-ulang. Mereka hanya menggeleng cepat. Keriuhan di
dalam kelab malam dan tempat karaoke membuatku enggan menelusup diantara
ratusan orang. Aku celingukan kesana kemari, tak kutemukan sosok wajah yang
kukenal. Aku menyerah. Kukayuh sepedaku pulang. Kembali menyusuri jalan lengang
gang-gang di kampungku.
Kehidupan
dua orang perempuan itu seperti sebuah poci-poci retak. Perlu tambal sulam
untuk menyatukan agar utuh. Perlu
kecermatan dan kesabaran yang amat untuk mengembalikan retakan -retakan
tersebut ke tempat semula. Agar bisa kembali jadi wadah. Agar bisa kembali
dipandang dan berharga di mata orang lain.
Pintu
kamar kontrakan Ning terbuka. Lekas ia masuk dan ia dapati sosok perempuan yang
tergeletak di lantai. Rok pendek dan kaos pendeknya tersingkap sedikit.
Wajahnya lebam dan memar. Dimulutnya ada darah segar yang menetes mengalir
pelan. Rambutnya berantakan. Ia terduduk lesu. Membuncah tangis malam itu. Dan
itu bukan untuk anaknya atau suaminya. Tangisnya itu untuk perempuan yang
setiap malam ia marahi dan ia pukul dengan gagang sapu. Perempuan yang ia maki
setiap ia tak melihatnya sholat. Perempuan yang sebenarnya amat ia sayangi.
“Duh
Gusti ... jangan biarkan tragedi terjadi setiap malam di rumahku ini ya Guati”,
tangisnya sambil bersimpuh di lantai. Ada rasa yang berkecamuk dalam dada.
Bahagia karena dia tak menemukan adiknya dalam mobil polisi tersebut, sedih
karena ia temukan adiknya dalam keadaan yang memilukan.
“katakan
padaku Sur... mengapa kau seperti ini. Mengapa keadaanmu payah seperti ini?
Kamu diapakan oleh lelaki-lelaki hidung belang itu?”, Sur hanya menggeleng.
Tangannya bergerak memegang tangan Ning.
Dia terus menggeleng sambil menyeringai.
“Aku
tak apa-apa mbak.... aku cuma pengin pulang. Aku cuma pengin pulang kerumah.
Tapi polisi itu menggeretku. Mereka memukulku mbak. Tapi aku harus pulang”,
desahnya dengan pelan. Wajahnya tak karuan lagi. Wajah ayu dan muda itu jadi
layu, tak berani Sur menatap wajah Ning. Wajah perempuan yang amat ia sayangi.
Ning
hanya menangis sejadi-jadinya sambil bergumam, “kau bodoh Sur... kau memang
bodoh....”.
Malam
terlalu malam dan pagi terlambat untuk menitipkan mimpi-mimpi kedua perempuan
itu. Pengembaraan mereka tidak pernah selesai. Sebuah poci yang retak benar-benar
tak bisa kembali utuh. Dikumpulkannya retakan itu sampai mereka bisa
menempelkan ke tempat semula. Meski tdak persis ke tempat semula.
(Solo,
16 Oktober 2017)
“