Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan masih basah dan airnya muncrat saat kakiku menyerempet dengan tak sengaja. Lelaki di depanku masih mengendarai motor dengan santai dan sesekali menghisap rokoknya. Di jalanan, aku sering melamun dan lebih khusyuk ketimbang melamun di toilet.
Saat berhenti di lampu merah, aku melanjutkan andai-andaiku dengan lelaki tadi. Ya, pengendara mas- mas itu tepat di depanku, masih dengan rokoknya. Kayaknya nikmat ya, menghisap rokok pas hujan gerimis dan jalanan basah. Aku sering kepengin jadi laki-laki kalau melihat mereka merokok di jalan. Lelaki yang merokok saat berkendara memang lebih natural, ketimbang entah saat nongkrong di cafe atau warung. Aneh, aku memang lebih aneh dari bayanganku sendiri.
Suatu saat waktu ngobrol dengan temen cewek yang kebtulan perokok juga, ia bertanya, "mbak, kamu gak risih to nongkrong sama aku yang udud-an ini. Banyak yang ngelirik aneh gitu". Ha mbok ben bilangku padanya, "jujur ya, entah kenapa aku gak selurus seperti yang kamu kira. Aku pernah sangat ingin merokok seperti kamu dan ikutan buka jilbab kaya temen-temen waktu pentas. Tapi, aku ingat sekali perjuanganku di SMA waktu pake jilbab masih 2-3 orang dalam satu sekolahan dan aku diantara orang yang ngeyel pake jilbab itu", imbuhku saat dia ngebul pas di depanku. Kopi tinggal separuh.
Sedang aku, melarang suamiku merokok di dalam rumah. Dia pasti merokok di teras atau di pinggir jalan. Tak se rupiahpun dia meminta uang jika rokoknya habis. Persetan, itu urusanmu! Aku melarang anak-anakku merokok meski mereka laki-laki. Aku berjuang mati-matian agar anakku tidak merokok. Bahkan, aku bisa bertengkar hebat dengan anak keduaku, karena ia jujur pernah mencoba merokok karena temannya. Aku tidak suka saja. Bukan alasan ragawi saja, namun juga idealisme ku yang kolot dengan norma sosial. Meski aku tak menampik, aku sangat pernah ingin merokok. Aku juga bukan saklek bab itu, betul karena tidak suka saja. Setidaknya aku ingin mereka hidup lama ....ya, lama. Tidak seperti bapakku, perokok berat yang meninggal usia 60 an. Seharusnya, ia bisa hidup sesuai dugaanku, Serakah ya!
Sudah menjadi kebiasaanku, mengendarai motor menjadi hal yang sangat menyenangkan karena melamun tadi. Tidak seperti dulu waktu masih umur 20-30an, aku suka ngebut. Tapi seiring waktu, mengemudi dengan santai membuatku bisa menikmati waktu, merasakan suasana jalanan dan berdialog dengan diri sendiri. Ya, Eyel-eyelan dengan diri sendiri. Mengapa Sigmund Freud yang terkenal dengan kehendak bebasnya itu justru membuktikan bahwa manusia itu sangat tidak bebas. Meski ia memiliki kehendak bebas atas prakarsanya sendiri, namun ia tetap terikat dengan aturan, etika dan produk pikirannya sendiri. Ini mustahil ditolak. Manusia yang bebas itu masih terbelenggu dengan pikirannya sendiri,
Saat melamun, kau selalu berjibaku dengan semua alasan kamu hidup dan terus melakukan banyak hal meski tak kau sukai. Ini mengapa penulis menulis novel. Itu kenapa Sartre senang membahas Novel sebagai sesuatu yang tidak 'asal'. Dia pernah mengatakan, "novel mendatangi kita dari sisi lain cakrawala, sisi lain samudra, ia berbicara kepada kita tentang matahari pada musim semi yang pahit dan dingin tanpa adanya batu bara untuk menghangatkan.."
Aku mengamininya dengan lantang. Bahwa novel adalah sebuah bentuk pembebasan untuk lepas dari kungkungan hidup yang bebas namun tidak bebas ini. Sungguhpun kau menampik dengan mengatakan kamu bisa melakukan apapun yang kau mau, tapi produk yang kamu lakukan sekarang hanyalah buah pembalasan atas kekecewaanmu pada hidup. Kamu hanya tak bisa mengatakan bahwa aku melakukan hal tersebut karena seseorang, karena keadaan, karena jika tak melakukannya aku akan mati... seperti itulah hidup yang kita jalani saat ini.
Lantas, keberuntungan penulis adalah ia bisa menangkap momen hidupnya dalam kata-kata dan mengumpulkan kekecewaan, kesedihan, gelora dan kematian dengan tulisan. Dalam bukunya "What I Talk About, When I Talk About Running"(2007) Haruki Murakami membahas bagaimana ia menulis justru di tengah kesibukannya melamun saat berlari. Saat latihan lari untuk lomba Marathon, entah di Hokkaido, New York maupun di Athena, Murakami selalu berkutat dengan pikirannya saat melamun. Lamunannya tak kosong dan tak khayal. Ia menggambarkan pekerjaan menulis seperti tukang pandai besi yang tekun melakukan pekerjaannya setiap hari. Asimilasi antara lamunan dan dialognya saat berinteraksi dengan sesuatu yang ia temui menjadi hidup dalam ingatan kolektif dan serupa kontemplasi ia rangkum dalam esai-esai larinya.
Dalam bukunya itu, Murakami secara personal membahas pandangannya sebagai penulis Novel. Bagaimana ia menganggap pekerjaan menulis itu pekerjaan manual sekaligus mental. Ia menulis untuk menjadi sebuah karya buku membutuhkan waktu yang tak singkat. Meskipun menulis hanya mengetikkan kata-kata dan menunggu sampai tulisanmu jadi, kau anggap hal itu selesai. Realitasnya, menulis butuh mental yang tidak dipakai orang dalam menggunakan energi mereka untuk mengangkat kursi atau secangkir kopi. Tidak. Dan tidak hanya butuh intelektualitas dan ketenangan di ruang kerja . Akhirnya Murakami mengatakan bahwa secara mentalitas, penulis harus memiliki daya tahan dan ketabahan.
Tak mungkin seorang penulis hebat memiliki tubuh yang tak sehat. Daya tahannya dalam melahirkan halaman per halaman tulisan menguras energi dan pikiran. Lihat saja buku-buku Leo Tolstoy, Dan Brown, J.K. Rawling yang menghasilkan tiga sampai lima ratusan halaman dan tetap menarik dibaca sampai akhir. Tidak cukup hanya kuat secara fisik, namun juga psikis dalam menjaga alur cerita, kebosanan dan kebuntuan. Setelahnya, kesabarannya dalam menulis akan menuai hasilnya saat cerita yang ia tulis dapat dibaca oleh pembaca.
Meski demikian, Murakami berani berkata bahwa bekerja sebagai penulis novel itu sungguh tidak sehat. Ia akan tenggelam di ruang kerjanya dan berkutat dengan pikirannya sampai mentok. Setelahnya, makan, minum dan merokok menjadi satu-satunya pelarian. Ia mengakui sendiri, saat mengerjakan salah satu novelnya tubuhnya jadi gemuk, suka gelisah dan tak pernah latihan berlari lagi. Ia terpuruk dengan pola hidupnya yang mengerikan itu. Dari situ, ia mulai ingin berlari lagi. Ia ingin hidup lebih lama dan ikut lomba Marathon meski umurnya tak lagi muda.
Sebagai pembaca, membaca novel itu seperti kamu bisa merasakan perasaan, emosi, dan lamunan seseorang. Ya, persis saat aku mengendarai motor selama berangkat dan pulang kerja. Aku sangat bisa merasakan dialog yang kulakukan dalam diam sekaligus berisik di kepala. Mungkin hal tersebut yang membuat Murakami tak mau melewatkan apapun yang terlewat di mata, telinga, betis, telapak kaki, otot-otot, nafas dan pikirannya saat berlari. Dan benar, saat kau membaca buku "What I Talk About, When I Talk About Running", apa yang Murakami rasakan bisa benar-benar kau rasakan seolah kau mengalaminya. Ya gilanya, setelah membaca buku ini aku benar-benar ingin berlari. Meski tak jadi atlet Marathon dan tak kuat membeli sepatu 'Mizuno'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar