Api terlihat membumbung di kilau matamu. Itu bukan neraka kan, bu? Itu seperti kelopak yang merekah di malam hari. Mataku berair, geloramu berapi. Sungguhpun Tuhan tak ke mana-mana, Dia menantimu di perempatan jalan. Ditemani tukang becak yang lelap di mimpi-mimpinya.
Sungguh Tuhan tak ke mana-mana, bu. Hanya saja kau penat dan menyangkalnya mati-matian. Bahwa senja kau anggap ingkar janji. Bahwa hujan lelah menanggung sepi. Bahwa bulan sering nangis di kuburan, sendiri. Bahwa kau terkungkung di bola mata yang berapi-api dan penuh gejolak.
Setelahnya, kau minta mati dalam dekapan malam dibalut luka, katanya akar-akar pohon beringin itu kulkas penyimpan lupa: dingin dan beku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar