Selasa, 20 November 2018
JANJI
Ditatapnya perempuan itu. Perempuan lain di hadapannya. Perempuan yang memoles bibirnya dengan gincu merah tua. Disapanya wajah yang berkali-kali menempel di cermin. Wajah yang sama muncul untuk jadi lebih berbeda. Rambut yang lebih teratur, pipi yang lebih gempal, mata yang lebih bersinar dan bibir tebal yang bisa tersenyum. Barangkali kau tak kenal bosan. Merawat hatimu untuk menyukaiku. Kau tetap menaruh wajah cantik. Aku senang kau berpura-pura. Biar kutersenyum. Agar otakku tak belingsatan kemana-mana. Mencari spion atau kaca jendela saat berjalan. Aku percaya padamu saja. Menghitung jarak dengan percaya. Bahwa medan magnet hanya kuat di ujungnya. Permukaan saja. Di dasar inti... biar aku saja yang tahu. Tugasmu hanya menghiburk, cermin. Lalu dialog merekasepi.
Perempuan masih bergembira dengan pikirannya yang lebih tenang. Masih besok untuk menyerahkan punggungnya pada tas ransel yang penuh wasiat. Dipercayakannya pada punggungnya untuk menggendongnya kemanapun dia pergi. Ke toilet, kantor, jalanan, bus, terminal, warung hik maupun di kasur.
Nir, nama singkatnya. Nama yang otomatis membuat hatinya kecut saat mengingatnya. Namun berbekal tumpukan kertas dan foto-foto yang ada di dalam tas ranselnya, perempuan itu semakin dingin. Menatap foto perempuan berwajah ayu keibuan itu. Disampingnya, tampak segepok uang yang nongol di bibir amplop.
Dia kepengen tidak tidur atau merebahkan tubuh agar ingatannya tajam dan segera tuntaskan harinya dengan baik dan cepat. Sebelumnya, ritual untuk memoleskan minyak zaitun ke bibirnya tak ia lewatkan. Biar bibirnya tak kaku saat bicara manis. Perihal yang ia benci selama ini. Bicara basa-basi.
Perempuan ini masih menunggu. Duduk di luar sebuah restoran. Bersandar tiang listrik. Membawa ransel kulit mungil nan modis. Disisir poninya dengan lembut. Namun angin mengacaknya berulang-ulang.
Ternyata, segepok uang itu membuatnya terpaksa jadi perempuan cantik, membosankan dan menunggu. Menunggu dan ia bahkan tak tahu Nir, perempuan lain yang lebih cantik itu juga menunggunya. Bahkan jauh lebih lama dan duluan bosan di dalam.
Dua perempuan yang saling menunggu untuk bertemu. Atau berharap tak bertemu. Tak berharap bertemu dalam pertemuan yang kaku. Mungkin lebih tepatnya begitu. Mereka tak tahu, bahwa tempat mereka menunggu adalah tempat yang sudah ditakdirkan jadi tempat yang biasa untuk jadi kecewa.
Perempuan yang di dalam asyik bergumul dengan sepi. Menunggu di pojok ruang. Meja, kursi dan vas kecil mengisi sebatang tanaman berdaun hijau tanpa bunga. Saling menimpali dalam sunyi.
“selamat pagi manusia...”
“selamat pagi tanaman”, jawab perempuan dengan sopan.
“kenapa kau sendiri disini. Meja ini untuk dua orang”
“aku sedang menunggu”
“kenapa manusia senang menunggu disini?”
“karena mereka suka berjanji. Aku sebagian manusia yang taat pada janjinya”
“bukankah mereka suka perhitungan? Menghitung angka-angka dan setia membicarakannya berjam-jam. Berat badan, luas rumah, tinggi badan, berapa juta dan membilang yang tak mesti dibilang dalam angka”
“aku tak punya teman. Aku kini sendiri”
“aku sekarang temanmu”
“terima kasih...bibirku tak jadi kering”
Kursi tetap kosong. Namun obrolan tak lagi sepi. Waktu menjemput keduanya untuk bertemu dan berpisah.
Dalam keramaian lain, hening hinggap dalam setiap kehadiran. Diantara banyak manusia, seorang manusia bisa sangat sendiri dan sepi. Diantara banyak manusia, ada manusia yang mengubahnya jadi sebuah planet tak berpenghuni.
Tiang listrik yang berdiri tinggi diantara tiang-tiang lampu kota beringsut tak diam. Menyapa manusia dalam wajahnya yang tenang.
“selamat sore manusia...”
“selamat sore ... kenapa kau baru menyapaku?”
“kau terlalu tenang dalam hirup pikuk jalan ini. Takut mengganggumu”
“aku sedang menunggu. Dua ratus sepuluh detik sekali waktu dan enam ratus tiga puluh detik dalam sehari”
“kau sangat sabar. Menghitung waktu yang bukan milikmu”
“manusia memiliki waktu yang sama namun aku berhak memiliki lebih dari kebanyakan manusia lainnya”
“kenapa bisa?”
“karena mereka tak mengartikannya seperti aku menghitung waktu yang berharga ini”
“Dan kau sia-siakan?”
“tidak? Waktu tak pernah sia-sia”
“kalau begitu kau bertemu saja pada sembarang manusia, waktumu akan lebih berharga”
“kau tak tahu ini adalah sebuah pekerjaan. Pekerjaan manusia yang paling berharga”
“dan kau tak melakukan apa-apa”
“aku menunggu”
“manusia dewasa memang kolot. Aneh. Dan kau lebih aneh dari yang kusangka”
“terima kasih”.
Perempuan ini menjawab salam terakhir dengan santun dan maklum. Perjumpaannya dengan seseorang tak harus terwujud. Kemudian dia mengemasi tas ranselnya dengan membawa kembali uang yang utuh dalam amplop. Membawa kembali bahagia yang ia kemas rapi saat datang. Perempuan pulang membawa foto wanita yang mesti ia temui. Seharusnya ia senang, seperti bahagianya ia bertemu dengan ibu yang sudah lama ia impikan. Seperti ia selalu menunggu satu jam lebih awal. Meledakkan jantungnya ketika jarum jam mendekati jam bertemu. Namun ia taat pada pekerjaannya. Ia pasti akan datang satu jam lebih awal untuk bahagia. Menunggu seseorang. Selalu begitu.
Langganan:
Postingan (Atom)
Manusia (tidak) Bebas
Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...
-
Manusia itu sangat membosankan. Terlebih manusia dewasa, itu yang dipikirkan Rolan. Dia jadi satu-satunya lelaki di Resto yang tak banyak...
-
Indonesia itu pintar lo Banyak lulusan sarjana yang bercita-cita jadi pejabat kelak menguasai bangsa, lalu menjajah rakyat sendiri Indones...