Sabtu, 07 September 2024

Jam Satu Pagi (2)

 

Manusia itu sangat membosankan. Terlebih manusia dewasa, itu yang dipikirkan Rolan. Dia jadi satu-satunya lelaki di Resto yang  tak banyak bicara. "Sangat membuang energi", pikirnya. Saat bekerja, ia hanya akan mengingat pesanan dari para pembeli meski ia sudah mencatatnya di kertas. Kemudian, diulanginya dengan sapuan matanya yang tajam. "Ah, ya... tak mungkin salah"

Kertas itu dicapitnya diantara pesanan lain sesuai urutan. Japitan kertas yang melenggok-lenggok di tali kenur itu telah lama dijadikan point of view para tukang masak di dapur. Dua orang chef, senior dan asistennya dan satu lagi fokus di minuman. Resto ini memang tidak begitu ramai, namun ada musimnya ketika jam-jam malam selalu disinggahi para pemuda yang nongkrong sambil mengerjakan tugas. Laptop dan kertas-kertas yang dibawa kadang lebih memenuhi meja ketimbang makanan di menu yang mereka pesan.

"Rolan, antar pesanan ke meja 9", lelaki berambut ikal acak itu lebih lebat di bagian atas. Dia langsung mengangguk. Tak banyak cakap memang. Dia menganggap, kecakapan manusia berkomunikasi seringkali digunakan melampaui batas. Ia menganggap Resto tempatnya ia bekerja ini lebih sebagai tempat mengobrol ketimbang tempat makan. Jika dikatakan Cafe juga tidak karena di sini tak ada minuman alkohol. Juga bukan Cafe Kopi yang sekarang menjamur di mana-mana. 

Lelaki itu menikmati fungsi mata dan telinganya dengan baik dengan menjadi observer tingkat tinggi. Itu karena yang ia senangi hanya memandang dan mendengar apa yang sekilas pelanggan obrolkan. Ia senang mendengar obrolan di meja-meja terdekat kala ia menunggu chef membuatkan pesanannya. Kadang sambil menata menu yang sudah ditinggalkan, ia bersih-bersih meja dan menguping. Tentu saja, karena tidak sengaja dan memang tak bisa dihindari. 

Kata-kata yang ia dengarkan mungkin melebihi 10.000 kosakata dalam sehari. Ya, apa yang di dengarkan selama ia bekerja di situ. Itu kenapa, ia yakin mulutnya tak akan disia-siakan untuk menambah ketololan hidup manusia yang mereka habiskan dengan bercakap-cakap sampai berjam-jam dengan orang banyak dan dengan orang yang berbeda.

Kosa kata yang ia ucapkan sebatas jawaban saat pelanggan menanyakan menu yang direkomendasikan. Atau hanya ingin menunjukkan eksistensi mulutnya, agar tak dikatai 'orang bisu' oleh teman-temannya. "Ah, sungguh merepotkan ya" 

Perihal demikian, Rolan menjadi peka terhadap suara-suara meski dengan volume yang kecil. Meski di Restonya selalu menyetel lagu-lagu slow, kupingnya juga peka terhadap musik-musik yang jusru cenderung mengubah mood saat kau duduk menyendiri menunggu teman di situ. Ia mencoba memahami orang-orang dengan ekspresi kesepian, kesulitan, atau kecemasan meski akan bertemu orang yang ia nantikan. Ia butuh musik yang bagus. Itu pun sering ia tak sejalur dengan temannya yang suka menyetel lagu-lagu dengan beat yang kencang. Bukan rock. Tak ada list rock di tempat macam ini. Kebiasaan teman-temannya di sana selalu menyetel lagu indie yang nge-hits baru-baru ini.

Jika dia tak tahan dengan lagu-lagu itu, biasanya ia nekat menggantinya dengan Carla Bruni atau Norah Jones yang familiar. Namun Jazz lebih keparat bikin pusing ketika instrumen nya justru membuatmu melayang membayangkan entah apa saja yang lewat di kepala. Rolan tak ambil pusing, Gary Coleman akan selalu menjadi temannya saat ia membuka Resto di pagi dengan menyapu, mengepel dan mengelap meja satu persatu. Seperti ritual. Temannya akan membiarkannya demikian, karena memang lelaki itu senang bekerja dan mereka terbantu dengan kerja kerasnya selama ini. Mereka sesekali berkelakar "Itulah kenapa ia tak kehabisan tenaga, sampai malampun ia akan mengepel tempat ini di saat kita sudah kehabisan napas"

"Karena kau banyak bicara, tahu!' lalu tawa renyah mereka menjalar di seluruh ruangan terbuka itu. Bagusnya, tempat itu berupa open space dengan bangunan joglo di tengah dan dikelilingi taman di sekelilingnya. Taman sederhana dengan kerikil-kerikil di bawahnya dan tanaman rambat menutupi pagar tinggi. Perokokpun  tak jadi umpatan pelanggan lain yang terganggu dengan asapnya. Dia juga perokok berat. Rolan akan minggir ke belakang dapur untuk menyulut rokoknya secepat kilat, sebelum namanya diteriakkan lantang dari mikropon depan.

Malam ini gerimis agak berat. Tidak deras amat. Perempuan itu sendiri masuk dan menerobos taman dengan santai seolah hari tidak hujan. Di hentakkan pelan kakinya di pinggir tangga pertama sampai ia melenggang ke arahku.

"Mas, tolong minta Tisu." dia mengangguk dan membawakan Tissu sekotak dan menghampirinya di pinggir Joglo. 

"Mengapa duduk di situ sih. Kan masih banyak tempat di antara banyak tempat duduk", pikirnya.

"Di sini dingin, tidak ke tengah aja?" tawarnya pada perempuan itu lirih karena pasti hempasan air hujan akan sampai di tubuhnya yang kurus itu.

"Hujannya masih bisa dinikmati. Tak apa.Terima kasih tisunya" lalu diusapnya pada laptop yang terkena hujan. Tasnya yang kecil ia hempaskan di sampingnya. 

"Eh, maaf ... ada tas plastik besar seukuran ini?" tunjuknya pada laptop.

"Sial, temanku mengembalikannya tanpa tas. Kurang ajar bukan?" Rolan mengamati gerak-geriknya dan mengangguk. Matanya takjub melihat perempuan itu. Entah takjub di sebelah mana, ia terus menatap dan mendengarkan perempuan itu bicara kecil. Mengumpati temannya itu dengan ekspresi wajahnya yang sepertinya baik-baik saja. 

Setelah mengantar pesanan Roti bakar dan lemon tea-nya, ia duduk di seberang wanita itu. Agak jauh namun bisa melihatnya dengan jelas. Posturnya seolah sedang meneliti menu di dekat kasir. Matanya sesekali menatap perempuan ber sweater coklat. Ia kemudian meletakkan bokongnya dengan nyaman di kursi anyaman dan merokok. Pelanggan agak sepi. Hanya perempuan itu dan segerombol pemuda yang mengerjakan tugas sambil mengobrolkan sesuatu. Kali ini telinganya yang peka, membiarkan lagu Raim Laode dengan tenang. Ia tak menaruh perhatiannya pada obrolan anak-anak muda yang masih idealis dan agak cengengesan itu. Kelakarnya kadang mengganggu penglihatannya yang tertuju pada perempuan itu. 

Tiba-tiba sepi setelah pelanggan terakhir itu keluar dari Resto. Ia menatap perempuan berambut cepak dan kira-kira berumur 40-an itu menenteng tas plastik untuk membungkus laptopnya.  Wajahnya masih segar. Masih hidup menurutnya. Ia mengangguk pada Rolan sebelum keluar Resto, tanda terima kasih karena telah menampung umpatannya meski tak lama. Lalu sempat melebarkan tangannya untuk menyapu tetes-tetes hujan yang menempel di dedaunan Cataleya pinggir taman. 

"Aneh perempuan itu" batinnya

Lalu diambilnya buku menu dan merapikan tempat makan perempuan tadi. Tangannya berhenti memegang kertas nota kosong,  dan membaca tulisan tak rapi di sisi belakangnya.

~Jika membenci itu suatu hal yang bagus, maka yang kubenci pertama adalah diriku sendiri. Karena aku memang membenci diriku sendiri melebihi orang yang membenciku~

Dikatonginya  kertas itu di kantong celananya. Entah kenapa, kalimat yang dibacanya, langsung terekam di kepalanya, seperti ia selalu mengingat menu setiap pelangganya. Jelas dan tak mungkin salah ....


(bersambung)

 

 

Rabu, 04 September 2024

Jam Satu Pagi (1)

File naskah masih dipandanginya dengan aneh di layar laptopnya. Perempuan itu sudah memandanginya selama berjam-jam dan kata-kata tidak bisa keluar. Ia sesekali memencet lagu yang berhenti sendiri terlalu lama di youtube. Ia putar kembali kemudian ia tatap tulisannya sambil menggeser layar naik turun. Ia mengumpat namun yang keluar dari mulutnya hanya desahan kasar. Lalu disambarnya buku Murakami. Dibacanya lipatan halaman yang hampir tuntas. Ia mendengus lagi ....

"Kenapa Gregor Samsa muncul di tulisan orang jepang ini. Sial", ia mengumpat tanpa maksud apapun. 

Ia lelah menggeledah isi pikirannya dan tak menemukan apa-apa. Sebenarnya pikirannya tak lagi kosong. Namun bisa dikatakan tidak berisi juga. Ia berusaha mati-matian sedari pagi menulis sesuatu di layar laptopnya dan bersikeras meneruskan naskahnya minim satu bab.

"Eh, aku mungkin bisa meneruskan cerita orang. Yang kudengar rumpang, di telinga sebelah atau melihat dengan mata kiri saja. Bisa... bisa ...ah atau menerjemahkan kebisuan seseorang?"

Ia mendesah berat dan melemparkan buku Murakami di samping Laptop. Ia pikir dengan membaca sesaat, kebuntuannya akan hilang.

"Seharusnya aku sembunyikan dulu buku ini sampai naskahku selesai" 

Ia memang suka tergoda membaca buku yang setengah terbaca, di sela-sela tuntutannya menulis. Dia bahkan pengangguran, tapi ia merasa ingin jadi orang yang berguna minimal untuk dirinya sendiri. Menulis buku, yang bahkan buku-buku terdahulunya laku sedikit. Ia sudah senang jadi penulis tak terkenal. Takdir menghendaki demikian, mungkin.

 Ia tahu lelaki yang tinggal di lantai bawah ... suaminya selalu bertanya pertanyaan yang sama di setiap berpapasan di rumah, "Apa sudah selesai?"

"Ayo turun makan, atau setelah kau selesaikan itu dulu?"  membuatnya tambah gila. Ia merasa, fase beromansa selama berumah tangga hanya beberapa bulan setelah menikah. Setelahnya. Ia ingin mengubur diri hidup-hidup di kamar kerjanya ini. Ia merasa tertekan hidup di rumah ini dengan segala macam thethek bengeknya. Sedang suaminya selalu membicarakan bagaimana bisa lepas dari bujukan teman--teman kantornya untuk memulai program anak. Hal itu justru membuatnya merasa bersalah. Di rumah ini, hanya perbincangan itu yang ia hindari.

Perempuan itu kemudian kembali tekun meneliti tulisannya di layar dari atas kemudian ia geser ke bawah dengan seksama. Seolah ingin menemukan jarum kecil diantara tumpukan jerami. Sesekali ia membetulkan tulisannya dan menghapus beberapa. Dan lagi ..... ia berhenti di kalimat terakhir. Di bawahnya tertulis judul sub bab yang sudah ia tulis dengan huruf tebal dan digaris bawah.

"Eh, gila kalau lama-lama begini aku pilih mati saja", ia menirukan dialog Samsa dan perempuan bungkuk yang ada dalam buku Murakami dengan suara lantang. Namun suara itu memang lebih pas diucapkan pada situasinya. Putus asa.

Setelah itu telponnya berdering. Di tengah malam seperti itu, dering telpon rumahnya yang nyaring  sungguh membuatnya seperti kiamat. Membuatnya terkaget dan terbuyar konsentrasi. Tubuhnya yang terpaku di kursi menggeliat malas. 

"ini jam 1 pagi, ini siapa!" suaranya serak

Ia membayangkan ada telpon iseng dan akan menakut-nakutinya. Namun, yang terdengar hanya hembusan nafas yang berat di seberang telpon.

"Jika aku mati hari ini, apa kau bersedih?"

"Siapa ini? apa aku mengenalmu?" desahan di seberang telpon menghilang sesaat .....sedang ia menunggu berharap suara itu kembali tersambung dengannya. Namun, tidak! Di seberang telpon hanya terdengar suara mendengung panjang.

Kepalanya mendongak ke langit-langit kamar. Dipastikan sekali lagi, Diingatnya berulang kali. Apa pernah mendengar suara khas itu? Sial, dan ini jam 1 pagi. Ia masih mengingat-ingat suara lelaki itu. Apa teman suaminya? Dan nomer rumah ini hanya sedikit yang tahu. Telepon rumah kabel kalah dengan Handphone. 

Pada masa itu neneknya memasang telepon rumah untuk Toko Mesin Jahit di lantai bawah. Selain itu, nenek juga menerima jahitan atau perbaikan baju. Kakek neneknya memang tekun menjaga usahanya, sampai suatu ketika ibunya menikah dengan seorang lelaki yang gila judi. Toko yang seharusnya diwariskan pada ibunya, tinggal rak-rak kaca kosong yang sudah buram, tersisa satu mesin jahit kuno. Ayahnya sudah menjual beberapa mesin jahit yang bagus untuk melunasi hutang-hutangnya. Dan ibunya, sakit-sakitan karena depresi. Entahlah, hidup macam apa hingga ia terjebak di rumah toko yang berumur lebih dari umurnya. Kosong dan tua. 

"Akan kutunggu besok jam 1 pagi lagi. Apa ia akan menelponku?"

"Setidaknya aku tahu dia masih hidup"


(bersambung)








Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...