Rabu, 04 September 2024

Jam Satu Pagi (1)

File naskah masih dipandanginya dengan aneh di layar laptopnya. Perempuan itu sudah memandanginya selama berjam-jam dan kata-kata tidak bisa keluar. Ia sesekali memencet lagu yang berhenti sendiri terlalu lama di youtube. Ia putar kembali kemudian ia tatap tulisannya sambil menggeser layar naik turun. Ia mengumpat namun yang keluar dari mulutnya hanya desahan kasar. Lalu disambarnya buku Murakami. Dibacanya lipatan halaman yang hampir tuntas. Ia mendengus lagi ....

"Kenapa Gregor Samsa muncul di tulisan orang jepang ini. Sial", ia mengumpat tanpa maksud apapun. 

Ia lelah menggeledah isi pikirannya dan tak menemukan apa-apa. Sebenarnya pikirannya tak lagi kosong. Namun bisa dikatakan tidak berisi juga. Ia berusaha mati-matian sedari pagi menulis sesuatu di layar laptopnya dan bersikeras meneruskan naskahnya minim satu bab.

"Eh, aku mungkin bisa meneruskan cerita orang. Yang kudengar rumpang, di telinga sebelah atau melihat dengan mata kiri saja. Bisa... bisa ...ah atau menerjemahkan kebisuan seseorang?"

Ia mendesah berat dan melemparkan buku Murakami di samping Laptop. Ia pikir dengan membaca sesaat, kebuntuannya akan hilang.

"Seharusnya aku sembunyikan dulu buku ini sampai naskahku selesai" 

Ia memang suka tergoda membaca buku yang setengah terbaca, di sela-sela tuntutannya menulis. Dia bahkan pengangguran, tapi ia merasa ingin jadi orang yang berguna minimal untuk dirinya sendiri. Menulis buku, yang bahkan buku-buku terdahulunya laku sedikit. Ia sudah senang jadi penulis tak terkenal. Takdir menghendaki demikian, mungkin.

 Ia tahu lelaki yang tinggal di lantai bawah ... suaminya selalu bertanya pertanyaan yang sama di setiap berpapasan di rumah, "Apa sudah selesai?"

"Ayo turun makan, atau setelah kau selesaikan itu dulu?"  membuatnya tambah gila. Ia merasa, fase beromansa selama berumah tangga hanya beberapa bulan setelah menikah. Setelahnya. Ia ingin mengubur diri hidup-hidup di kamar kerjanya ini. Ia merasa tertekan hidup di rumah ini dengan segala macam thethek bengeknya. Sedang suaminya selalu membicarakan bagaimana bisa lepas dari bujukan teman--teman kantornya untuk memulai program anak. Hal itu justru membuatnya merasa bersalah. Di rumah ini, hanya perbincangan itu yang ia hindari.

Perempuan itu kemudian kembali tekun meneliti tulisannya di layar dari atas kemudian ia geser ke bawah dengan seksama. Seolah ingin menemukan jarum kecil diantara tumpukan jerami. Sesekali ia membetulkan tulisannya dan menghapus beberapa. Dan lagi ..... ia berhenti di kalimat terakhir. Di bawahnya tertulis judul sub bab yang sudah ia tulis dengan huruf tebal dan digaris bawah.

"Eh, gila kalau lama-lama begini aku pilih mati saja", ia menirukan dialog Samsa dan perempuan bungkuk yang ada dalam buku Murakami dengan suara lantang. Namun suara itu memang lebih pas diucapkan pada situasinya. Putus asa.

Setelah itu telponnya berdering. Di tengah malam seperti itu, dering telpon rumahnya yang nyaring  sungguh membuatnya seperti kiamat. Membuatnya terkaget dan terbuyar konsentrasi. Tubuhnya yang terpaku di kursi menggeliat malas. 

"ini jam 1 pagi, ini siapa!" suaranya serak

Ia membayangkan ada telpon iseng dan akan menakut-nakutinya. Namun, yang terdengar hanya hembusan nafas yang berat di seberang telpon.

"Jika aku mati hari ini, apa kau bersedih?"

"Siapa ini? apa aku mengenalmu?" desahan di seberang telpon menghilang sesaat .....sedang ia menunggu berharap suara itu kembali tersambung dengannya. Namun, tidak! Di seberang telpon hanya terdengar suara mendengung panjang.

Kepalanya mendongak ke langit-langit kamar. Dipastikan sekali lagi, Diingatnya berulang kali. Apa pernah mendengar suara khas itu? Sial, dan ini jam 1 pagi. Ia masih mengingat-ingat suara lelaki itu. Apa teman suaminya? Dan nomer rumah ini hanya sedikit yang tahu. Telepon rumah kabel kalah dengan Handphone. 

Pada masa itu neneknya memasang telepon rumah untuk Toko Mesin Jahit di lantai bawah. Selain itu, nenek juga menerima jahitan atau perbaikan baju. Kakek neneknya memang tekun menjaga usahanya, sampai suatu ketika ibunya menikah dengan seorang lelaki yang gila judi. Toko yang seharusnya diwariskan pada ibunya, tinggal rak-rak kaca kosong yang sudah buram, tersisa satu mesin jahit kuno. Ayahnya sudah menjual beberapa mesin jahit yang bagus untuk melunasi hutang-hutangnya. Dan ibunya, sakit-sakitan karena depresi. Entahlah, hidup macam apa hingga ia terjebak di rumah toko yang berumur lebih dari umurnya. Kosong dan tua. 

"Akan kutunggu besok jam 1 pagi lagi. Apa ia akan menelponku?"

"Setidaknya aku tahu dia masih hidup"


(bersambung)








2 komentar:

Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...