Setiap pulang sore dari kerja, di jalanan aku selalu mikir sayur atau lauk apa yang harus aku beli buat makan malam. Sebelum masuk gang ke rumahku, aku melewati penjual sate yang buka setiap sore. Aroma kebulan asap yang membakar sate menusuk hidung. Sambil menoleh, kupelankan laju sepeda motorku. Rupanya bukan sate biasa. Itu sate kere! teriakku dalam hati. Terus terang sate itu sudah jarang kutemui di kota ini. Hanya kadang kutemui saat pasar malam, yang buka musiman. Kupikir selama ini sate yang dijual ibu itu sate ponorogo yang biasanya.
Aku putar balik tanpa pikir panjang. Meski kutahu anak-anakku pasti tidak suka dan hanya aku dan Eyang yang mau menyantap 'old-food' ini. Saat menunggu saya berpikir kenapa orang jaman dahulu menamai sate ini dengan sate 'kere'. Toh jika kita menilik asal muasal makanan ini dibuat, histori masa kompeni langsung kembali. Masa jaman susah ketika rakyat jelata juga ingin menikmati sensasi makan nikmat ala ningrat berbahan daging itu. Kawula alit ini tentu tak bisa beli daging yang harganya mahal dan bisa menyesal seumur hidup dengan menghabiskan uang simpanannya hanya untuk menikmati sate.
Kere sendiri merupakan makna yang secara konotatif disematkan pada kata miskin yang semiskin-miskinnya. Itu kenapa orang jawa menggunakan kata 'kere' sebagai umpatan yang dapat meluapkan emosinya 'to the deep ocean'. Anehnya kata tersebut memang pantas dicap kan pada rakyat jelata pada jaman dahulu yang tidak layak memakan makanan kelas atas tersebut bagaimanapun caranya. Sate yang berbahan daging tersebut, di-adakan di depan mata dengan bahan yang mirip dan berasa seperti daging betulan. Apesnya, bahan penting kere justru bukan jerohan sapi seperti usus, hati, jantung dan kikil sapi namun tempe gembus yang terbuat dari ampas (sisa) pembuatan tahu dan tempe. Tempe gembus yang direbus terlebih dahulu sebelum dibakar dengan arang kemudian terasa nikmat jika disajikan dengan saus kacang. Tentu saus kacang sate kere berbeda rasa dengan sate ponorogo pada umumnya. Dari sinilah aku paham kenapa sate ini dinamakan begini amat. Se-kere ini lah yang menunjukkan hirarki terbawah dalam makna kata miskin.
Ya, tempe gembus adalah sisa-sisa pembuatan tahu yang bagi orang lain seharusnya dibuang. Sedangkan jerohan: usus, hati dan kikil sapi adalah sisa atau sampah yang tak termakan untuk sajian makanan orang ningrat. Bagi orang jawa, keterbatasan justru membuatnya jadi kreatif. Bahan-bahan yang sebenarnya sampah (ampas) diolah bisa menjadi makanan enak. Jerohan yang dibuang dan dianggap bukan daging itu bisa ditusuk di lidi dan bisa jadi sate. Kekreatifan para kawulo alit tersebut bisa bermanfaat dan menepis keinginan mengincip makanan kelas atas dengan sama-sama bernama sate. Ironisnya, penamaan tersebut memang disepakati sebagai bentuk protes sosial atas kondisi gap yang terlampau jauh di masyarakat Indonesia jaman dahulu. Kere vs Ningrat tidak akan kejam dalam konotasinya jika dinamai miskin vs ningrat. Satire masyarakat belum tentu dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu. Makanan tetaplah makanan, yang memiliki hirarki kekuasaan berdasarkan status keberadaanya di strata sosial ekonomi. Perwujudan bahasa bisa masuk dalam perjuangan anti penjajah waktu itu. Namun, kebiasaan mendengar kere untuk jaman sekarang terasa risih dan kasar meski kita tahu seluk beluknya, kronologis pragmatis.
Makanan kreatif senikmat itu belum tentu bernama indah dan estetik. Sejauh ini, makanan jawa yang memiliki nama khas dan aneh di telinga gen Z justru memiliki nilai historis dan mencipta jalan memori ke masa silam. Suar kenangan muncul di ingatan orang-orang tua yang pernah bergesekan pada jaman tersebut. Meski aku hanya mengincip sisa-sisa jajahan dalam segi budaya, kuliner dan pendidikan, aku masih sanggup menerimanya. Takjub dengan penamaan, istilah dengan maknanya yang 'jomplang' dari segi semantik dan pragmatis justru memiliki segi nostalgic.
Pernah menganggap konyol dengan segala bentuk pemaknaan yang melo dan sentimentil, toh nyatanya aku selalu bernostalgia dengan makanan atau tempat-tempat yang menggiringku ke masa lalu. Sate kere memiliki tempat tersendiri untukku. Sate kere cukup sering kutemui di kampungku waktu kecil. Ada Simbah-simbah yang berjualan menaiki sepeda onthel dan sering berhenti di depan rumah. Masalahnya, dulu saking aku sukanya dengan sate tempe gembus ini aku dilarang terlalu sering oleh ibuku. Aku hanya beli jika benar-benar diperbolehkan ibuku. Entah karena ngirit atau apa, ibu jarang membelikanku sate kere. Kesukaanku dengan sausnya sering aku habiskan di akhir sambil kutambahi nasi. Lontong yang cuma sedikit dengan tempe dan kikil nya langsung kulahap habis, kusisakan sausnya untuk "gong" nya sampai kusapu dengan jariku atau kadang dengan 'suru' atau sendok yang terbuat dari daun pisang yang dilipat jadi dua. Pada akhirnya, sampai aku dewasa sate kere selalu menjadi makanan yang menempati ruang 'nostalgia' tersendiri.
Solo, 31 Okt 2024