Rabu, 30 Oktober 2024

Se'kere' inikah sate kere?


 

Setiap pulang sore dari kerja, di jalanan aku selalu mikir sayur atau lauk apa yang harus aku beli buat makan malam. Sebelum masuk gang ke rumahku, aku melewati penjual sate yang buka setiap sore. Aroma kebulan asap yang membakar sate menusuk hidung. Sambil menoleh, kupelankan laju sepeda motorku. Rupanya bukan sate biasa. Itu sate kere! teriakku dalam hati. Terus terang sate itu sudah jarang kutemui di kota ini. Hanya kadang kutemui saat pasar malam, yang buka musiman. Kupikir selama ini sate yang dijual ibu itu sate ponorogo yang biasanya.

Aku putar balik tanpa pikir panjang. Meski kutahu anak-anakku pasti tidak suka dan hanya aku dan Eyang yang mau menyantap 'old-food' ini. Saat menunggu saya berpikir kenapa orang jaman dahulu menamai sate ini dengan sate 'kere'. Toh jika kita menilik asal muasal makanan ini dibuat, histori masa kompeni langsung kembali. Masa jaman susah ketika rakyat jelata juga ingin menikmati sensasi makan nikmat ala ningrat berbahan daging itu. Kawula alit ini tentu tak bisa beli daging yang harganya mahal dan bisa menyesal seumur hidup dengan menghabiskan uang simpanannya hanya untuk menikmati sate.

Kere sendiri merupakan makna yang secara konotatif disematkan pada kata miskin yang semiskin-miskinnya. Itu kenapa orang jawa menggunakan kata 'kere' sebagai umpatan yang dapat meluapkan emosinya 'to the deep ocean'. Anehnya kata tersebut memang pantas dicap kan pada rakyat jelata pada jaman dahulu yang tidak layak memakan makanan kelas atas tersebut bagaimanapun caranya. Sate yang berbahan daging tersebut, di-adakan di depan mata dengan bahan yang mirip dan berasa  seperti daging betulan. Apesnya, bahan penting kere justru bukan jerohan sapi seperti usus, hati, jantung dan kikil sapi namun tempe gembus yang terbuat dari ampas (sisa) pembuatan tahu dan tempe. Tempe gembus yang direbus terlebih dahulu sebelum dibakar dengan arang kemudian terasa nikmat jika disajikan dengan saus kacang. Tentu saus kacang sate kere berbeda rasa dengan sate ponorogo pada umumnya. Dari sinilah aku paham kenapa sate ini dinamakan begini amat. Se-kere ini lah yang menunjukkan hirarki terbawah dalam makna kata miskin. 

Ya, tempe gembus adalah sisa-sisa pembuatan tahu yang bagi orang lain seharusnya dibuang. Sedangkan jerohan: usus, hati dan kikil sapi adalah sisa atau sampah yang tak termakan untuk sajian makanan orang ningrat. Bagi orang jawa, keterbatasan justru membuatnya jadi kreatif. Bahan-bahan yang sebenarnya sampah (ampas) diolah bisa menjadi makanan enak. Jerohan yang dibuang dan dianggap bukan daging itu bisa ditusuk di lidi dan bisa jadi sate. Kekreatifan para kawulo alit tersebut bisa bermanfaat dan menepis keinginan mengincip makanan kelas atas dengan sama-sama bernama sate. Ironisnya, penamaan tersebut memang disepakati sebagai bentuk protes sosial atas kondisi gap yang terlampau jauh di masyarakat Indonesia jaman dahulu. Kere vs Ningrat tidak akan kejam dalam konotasinya jika dinamai miskin vs ningrat. Satire masyarakat belum tentu dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu. Makanan tetaplah makanan, yang memiliki hirarki kekuasaan berdasarkan status keberadaanya di strata sosial ekonomi. Perwujudan bahasa bisa masuk dalam perjuangan anti penjajah waktu itu. Namun, kebiasaan mendengar kere untuk jaman sekarang terasa risih dan kasar meski kita tahu seluk beluknya, kronologis pragmatis.

Makanan kreatif senikmat itu belum tentu bernama indah dan estetik. Sejauh ini, makanan jawa yang memiliki nama khas dan aneh di telinga gen Z justru memiliki nilai historis dan mencipta jalan memori ke masa silam. Suar kenangan muncul di ingatan orang-orang tua yang pernah bergesekan pada jaman tersebut. Meski aku hanya mengincip sisa-sisa jajahan dalam segi budaya, kuliner dan pendidikan, aku masih sanggup menerimanya. Takjub dengan penamaan, istilah dengan maknanya yang 'jomplang' dari segi semantik dan pragmatis justru memiliki segi nostalgic. 

Pernah menganggap konyol dengan segala bentuk pemaknaan yang melo dan sentimentil, toh nyatanya aku selalu bernostalgia dengan makanan atau tempat-tempat yang menggiringku ke masa lalu. Sate kere memiliki tempat tersendiri untukku. Sate kere cukup sering kutemui di kampungku waktu kecil. Ada Simbah-simbah yang berjualan menaiki sepeda onthel dan sering berhenti di depan rumah. Masalahnya, dulu saking aku sukanya dengan sate tempe gembus ini aku dilarang terlalu sering oleh ibuku. Aku hanya beli jika benar-benar diperbolehkan ibuku. Entah karena ngirit atau apa, ibu jarang membelikanku sate kere. Kesukaanku dengan sausnya sering aku habiskan di akhir sambil kutambahi nasi. Lontong yang cuma sedikit dengan tempe dan kikil nya langsung kulahap habis, kusisakan sausnya untuk "gong" nya sampai kusapu dengan jariku atau kadang dengan 'suru' atau sendok yang terbuat dari daun pisang yang dilipat jadi dua. Pada akhirnya, sampai aku dewasa sate kere selalu menjadi makanan yang menempati ruang 'nostalgia' tersendiri. 


Solo, 31 Okt 2024


Selasa, 15 Oktober 2024

“JIKAPUN TIDAK, AKU AKAN BERKATA IYA” (sebuah monolog)

 



Aku   :  Adam…Eva …kuciptakan untuk diriku sendiri. Jika aku jadi orang jahat, maka aku akan senang hati menjadi pembunuh. Satu orang yang ingin kubunuh dengan tanpa belas kasih adalah aku sendiri. Namun jika aku ditakdirkan jadi manusia yang berhati malaikat, maka aku akan jadi malaikat betulan… yang bisa menyelamatkan diriku sendiri dari kungkungan kegelapan dan terkubang di lubang yang dalam ….Biarlah mereka saling bunuh dan menyelamatkan. Sampai mana aku bisa kuat menghadapinya. Menghadapi kekacauan ini.

 

Adam  :

“Seperti cerahnya matahari pertama yang kulihat…

matamu bersinar menyorotkan kehidupan, Eva

Rambutmu legam, seperti segenggam arang dan segelap malam yang kutemui.

Bahasamu lembut, selembut angin sore yang berhembus berbisik di telinga dedaun,

Entah sampai kapan ….aku terus mengusut jejakmu,

Aku berjanji menyambut yang dijanjikan Tuhan padaku

O, sampai kapan aku mencarimu?

 

Di mana kamu, Eva?”

 

SurTejo:

(berteriak-teriak)

“Haaaiiii….. Mbah Adaammm, kami di sini…..!

Kau bisa mendengarku??

Aku bisa mendengar suaramu  dari sini.

Aku tadi bertemu dengan Nenek Eva lo Mbah …

Kenapa kau tak menoleh wahai, mbah Adam?

Aku sudah menemukan yang ingin kau temukan

Aku punya alat dengan radar ini, mudah untuk mencari sesuatu yang hilang….

Kau tentunya bisa belajar dengan mencari pengetahuan di manapun itu, bukan?

Lalu kau akan bisa menemukan ini itu lalu kau bisa menamai mereka yang kau temui,  meniru apapun yang kau lihat, memakan apa yang mereka makan, dan mengenakaan baju yang mereka kenakan…. Sebuah pohon pengetahuan yang luarbiasa bukan?

 

 

Halah kamu bicara apa to Sur…sur …

Jangan sok-sokan kamu
wajahmu saja biasa-biasa saja, otakmu juga gak besar-besar amat,

Kenapa kau terus nerocos bab kebidupan?

Betulkan dulu tuh, bajumu yang compang camping
sepatumu yang jebol dan rumahmu yang reot
dunia tak menerima kekurangan manusia seperti itu

Kau harus cantik mulus ganteng gagah dan kaya untuk bisa hidup

Permak dulu wajahmu itu
dunia itu kejam, Sur!

Kejam Sekali!!!”

 

Eva:

“Aku telah berjalan jauuhhh sekali, Adam
menyeberang lautan, naik gunung berkelok kelok menuruni lembah dan berlarian di padang rumput yang tak berbunga…..dan musim selalu berubah

Selalu berubah

 

Bagaimana kabarmu di sana, Adam

Mungkin permainan ini bisa berubah cara mainnya,

Berubah endingnya

Kita hanya dilahirkan demi program yang dirancang…

Kita sudah mengawalinya, Adam…

Kapan kita bisa mengakhirinya?

Apa kita bisa me-reset permainan ini dan bisa mengubah cara mainnya?

 

Namun, kita tahu benar…

Permainan ini hanya bisa dimainkan kita berdua

Dan aku belum menemukanmu”

 

SurTejo:

(Surti berteriak)

“Wahai mbah Adam …..Nenek Eva …..
kemarilah, kalian bisa bertemu di sini!
menengoklah Adam Eva….
Suaraku habis terus meneriakimu…

 

Sur…Surti, sudahlah,

Mereka yang seharusnya bertemu di sini atau di sana itu bukan urusanmu

Dandanlah demi esok bisa bertemu matahari

Kita perlu cantik dan ganteng agar bisa hidup layaknya manusia jaman ini

Demi bisa foto keren dan mempostingnya dengan bangga

Demi matahari yang setiap hari kalem menemui kita dan mengantar bekalmu di tempat kerja

Kita bisa melaut, berselancar kapanpun sejauh mungkin tanpa repot-repot bergerak

 

Tejo-tejo… kau salah

Kita bisa hidup layak seperti saat ini karena Mbah Adam Nenek Eva bisa bertemu

Seperti dalam kitab takdir

Adam dan Eva yang gagal bertemu itu suatu keniscayaan dunia lain yang perlu dipertimbangkan….

Dunia bakal edan,,,, dunia sudah edan sekarang

Gila seperti kamu!

Yang selalu menganggap wajahku jelek dan otakku kecil!

Biarpun kulitku hitam, badanku pendek, hidungku pesek dan aku tidak kaya..

HIDUP hidung pesek…HIDUP kulit coklat…HIDUP rambut kutuan. Hidup hidupaannnnnn!

(sambil mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang mengepal)

Aku layak memperjuangkan hidup ini

Demi perjuangan Mbah Adam dan nenek Eva yang bertemu dengan penuh duka cita!

Entah terlalu cepat atau terlambat mereka bertemu…

Atau bahkan GAGAL BERTEMU

Hentikan omong kosongmu itu….

Aku mencintai hidup ini, Tejo

 

Minggir… aku akan menanam padi, merumput di kebun beternak sapi

Atau menjahit baju untuk anak-anakku

Mengocehlah sesukamu ….

 

(Berteriak)

Wahai Mbah Adam …Nenek Eva …. Selamat berjuang

Semoga kalian segera bertemu!

(membatin diam…amat diam)

Atau tidak sama sekali!

Tidak sama sekali…..

 

Solo,  2023-2024

 

Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...