Rabu, 18 Oktober 2017

NING


Jutaan keping potongan pikirannya melayang-layang. Terapung di lautan luas. Terkepung rasa bosan. Entah kapan menepi dan berhenti  di sisi pulau dan segera menetap. Akal tak lantas bergembira dengan imaji-imaji edan dan kaku membelilit akar otak. Segera, jika dapat dipotong kecil-kecil maka akan dia lakukan. Menjadi sel-sel yang tak terlihat dan tak terbaca. Biar tak ada ilusi dan cantiknya kupu-kupu terbang  hinggap di mahkota bunga.  Perempuan ini, terlalu sepi untuk diam dan terlalu bising untuk teriak. Terkapar di tengah lautan dan masih nihil berharap. Kapan kata-kata akan menyapa dan  memungutnya  segera. Kemudian angkat dari kengerian diri yang tak terejawantahkan.
“tidak sur...jangan  menungguku”, perempuan berkerudung hitam lebar dan bercadar itu mulai beranjak dari rumah sempit ini dan mengambil sepeda angin yang sudah usang dan berkarat.
Kayuhan keras kakinya tetap tak membawa sepeda berkeranjang itu cepat melaju.  Sedang sepasang mata mengikuti  perginya sampai ujung jalan. Diam, menatap dalam dan sambil meronce mote, dialihkan pandangnya ke pernak-pernik mote, payet dan batu hias di cepuk-cepuk kecil.  Masih, kusutan benang yang ada di otaknya  semakin memintal, tak karuan, dan brantakan.  Jika kudu menyisir, tak cukup puluhan tahun sisa hidupnya agar lurus kembali.
Perempuan berkerudung itu sering dipanggil mbak Ning. Hanya dua perempuan yang tinggal di kontrakan sempit tanpa ada akses jalan. Kontrakannya tertutup  rumah  berlantai dua dan berpagar tinggi. Gang sempit satu meter satu-satunya jalan menuju pintu kontrakannya.
Pagi-pagi sekali perempuan itu mengendap-ngendap memasuki gang sempit. Sandal hak tingginya di lepas. Jaket jeans biru muda tergantung di pinggang. Rok hitam pendek tertutup kain pantai yang diikat di pinggangnya.
Beberapa saat tangannya memutar gagang pintu, terdengar suara perempuan berisik dan sesekali terdengar sabetan kain panjang yang mengenai tubuh seseorang dan berulang kali. Suryani hanya diam. Yah, hanya duduk sambil membersihkan make-up nya.
Suasana kembali hening. Tampak dua wajah yang lesu dan tenang. Meski gejolak amarah masih menguntit di wajah Ning, perempuan yang terlihat kerut di dahinya itu tampak kalem.
“aku tahu kita susah....ketiga anakku butuh biaya di pondok. Tak mungkin aku mengharapkan Mas mu datang ngasih jatah bulanan”, dibenahinya posisi mukena bagian kepalanya sambil menatap adiknya. Suryani masih diam. Wajahnya yang lebih muda, dan segar hanya menatap Ning sekilas lalu mulai ganti baju daster pendek. Tak dihiraukannya ada manusia lain yang mengusiknya.
“kau...mana bisa diberitahu. Aku seperti bicara dengan sebongkah batu”
“kau itu istri tua mbak... istri pertama. Seharusnya kamu itu menang. Minta hak pada suamimu agar dipelihara anak-anak dan kebutuhanmu. Eh kau ini....malah menyingkir dan mengalah. Pergi dari rumah dan pilih menyepi disini”
“kau seharusnya bersyukur. Kau bisa numpang hidup denganku. Anak-anakku hidup di pondok dan kau tak susah payah ikut memelihara anakku”
“Sudahlah aku mau tidur”
“Kau ini....sudah sholat Isyak belum”
“aku tak perlu laporan padamu kalau sudah sholat belum”, sahut Sur dengan cepat. Mendenguslah Ning dengan keras. Rasanya ia tak bisa berhenti emosi jika bertemu dengan perempuan ini.
--o0o—
Siang ini amat terik. Kain-kain kering yang bergelantungan di tembok-tembok saling berpagutan. Keluarlah perempuan dengan membawa keranjang. Ditariknya baju-baju dan kerudung besar ke dalam keranjang birunya. Sesekali angin berhembus melewati gang kecil itu. Kering dan panas. Dulu ada sebatang pohon besar di samping rumahnya, tempat Sur dan beberapa tetangga duduk dan ngobrol perihal macam-macam. Dulu, sebelum ia berkutat dengan pekerjaan yang menyita  obrolan banyak orang. Tetangga yang dulu datang berkerumun dibawah pohon, kini menghilang. Mereka ganti berkerumun di pos ronda dan sering membicarakan dua perempuan yang hidup di gang kecil ini. Mereka tidak lupa. Yah, Mereka tidak pernah lupa untuk tidak menggunjing perihal kecil dalam hidup kedua perempuan itu.
Ketika Sur lewat untuk sekedar membeli teh dan sayur matang di warung sebelah, obrolan beberapa perempuan itu tiba-tiba hening. Mereka pura-pura mengunyah makanan. Padahal tak sedikitpun telinga Sur ia gunakan untuk menguping. Tak pula diulurkan senyumnya untuk mereka. Ia pasang wajah acuh. Ia tak berpikir untuk akur dengan keadaan. Sudah hancur, hancurkan saja kepercayaan pada tetangganya itu.
Tiba-tiba Ning berlari-lari menyusuri gang sempit itu, tanpa sepedanya. Nampak merah dan berkeringat wajahnya. Cadarnya tak ia kenakan seperti biasa. Ia berlari lagi kembali ke jalan dan menghampiri perempuan- perempuan yang berkumpul di pos ronda. Ia bicara sedikit lalu bergegas lari menuju warung makan yang terletak di pojok kampungnya. Tak dihiraukannya pertanyaan seorang tetangganya mengapa ia amat tergesa-gesa?
“Sur, aku butuh duitmu. Cepat kau kasih aku tiga ratus dan besok-besok aku kembalikan”, sontak Ning menggeret lengan Sur dengan cepat. Ditolehnya wajah perempuan yang terlihat panik itu.
“Mana sepedamu?”, Sur agak heran karena perempuan itu terengah-engah dan memegang dadanya.
“cepat, tak usah banyak tanya. Penting sekali ini”
“Kapan kau kembalikan”
“Kau bawa uang kan.... dimana cepat kau kasih aku”, desak Ning sambil menggoyang-goyang lengan adiknya itu. Segera ia keluarkan dompet yang ada di saku celana jeans-nya.
“Ini .... kau kembalikan saja seratus. Yang dua ratus ribu anggap saja buat bayar  listrik dan uang makanku.” Disahutnya uang merah tiga lembar itu. Lalu segera ia berlalu dan berlari ke arah dia datang. Sur hanya diam terpaku di depan warung. Ia sudah terbiasa meminjami uang kakaknya dengan alasan untuk membiayai anaknya yang ada di pondok atau menebus obat untuk anaknya yang sedang sakit. Hasil dagangannya berkeliling hanya cukup untuk membayar uang kontrakan perbulan. Sejak ia bekerja di tempat karaoke, keuangannya cukup bisa membantu biaya hidup mereka berdua. Hanya perdebatan-perdebatan kecil yang sering dilakukan kakaknya membuatnya tidak betah di rumah. Namun ia sadar, rasa sayangnya pada perempuan cerewet itu tidak bisa dikurangi, juga tak bisa ditambah.
--o0o-
Malam terpekur di dalam penatnya jarum jam berdetak. Angin malam berisik memainkan ranting pohon  dan sobekan poster dibelakang rumahnya. Dapur kecilnya hanya ia tutup dengan bekas poster yang ia tempelkan di tiang bambu. Mata perempuan itu mulai lelah. Diletakkan nya mote, jarum dan benang di cepuk plastiknya. Diberesi jahitan baju pesanan penjahit kampung sebelah. Ia hanya bisa menyelesaikan pesanan menjahit mote yang tidak terlalu rumit. Misal hanya di ujung lengan atau bagian dada. Dengan demikian ia dapat pemasukan untuk membelikan baju koko untuk ketiga anaknya yang ada di pondok.
Napas Ning mendesah kuat. Dihentikan tangannya yang sedari tadi memberesi baju-baju. Jarum menunjukkan pukul 12 malam. Mengapa suara telapak kaki Sur tidak lekas ia dengar-dengar?. Ia memang selalu menunggu adiknya pulang meski wajahnya berubah masam saat berhadapan dengannya. Ia selalu ingin membuat keributan dengannya. Seolah dengan meneriakinya tentang segala hal, hatinya akan lega. Yang pasti adalah cara berpakaian Sur yang harus mengenakan celana jeans dan kaos ketat saat bekerja. Meski ia sendiri tak yakin membuat ia mau memakai kerudung seperti dirinya. Kadang ia menyalahkan ibunya yang terlalu bebas terhadap pilihan anak-anaknya.
Ia mulai panik saat jarum panjang menuju angka 6. Sudah dini hari dan Sur belum pulang. Ingin rasanya ia tak perlu menganggap penting perihal ini. Tapi ini memang diluar kebiasaannya. Ia mulai mengeluarkan sepeda mininya. Dikenakan kerudung hitam lebarnya dan bergegas keluar. Angin malam menyapa dengan sabitannya di ujung-ujung kerudung. Dadanya mulai panas. Jantungnya berdegup kencang. Ia mulai membayangkan yang buruk-buruk.
“Kau ini kemana saja Sur....kenapa kau tak sampai-sampai”, gumamnya dalam perjalanannya menuju jalan besar. Barangkali Sur tak menemukan angkot di pinggir kota. Atau tak ada yang ia tumpangi sampai ke rumah. “ Sur.... Sur .... “, desahnya dalam hati. Ia ingin kemungkinan skenario yang ia bayangkan salah satunya terjadi, bukan hal yang buruk. Namun pikirannya yang tidak enak terus saja mengganggu. Tak biasa ia merasa aneh malam ini.
Tiba-tiba matanya terpana pada kerumunan di suatu ruko bertingkat. Ia mendekat perlahan. Ia sedikit takut. Ada beberapa polisi yang membawa tongkat dan menggeret beberapa orang ke mobil bak terbuka. Tak ada sirine seperti dalam Televisi, namun kebisinginan karena kacaunya jalan menjadi tontonan banyak orang.
“Apa yang terjadi.... Sur ...kamu disitukah?’, tanyanya dalam hati. Di benaknya ramai adu pendapat. Apa mengapa dan bagaimana keadaan adiknya. Ia beranikan diri melongok di mobil bak terbuka milik kepolisian itu. Ditanyanya 3 perempuan cantik dan berbaju seksi itu dengan cepat.
“Mbak, dimana Sur... Suryani, yang berambut pendek dan punya tahi lalat di bawah mulut”, tanyaku berulang-ulang. Mereka hanya menggeleng cepat. Keriuhan di dalam kelab malam dan tempat karaoke membuatku enggan menelusup diantara ratusan orang. Aku celingukan kesana kemari, tak kutemukan sosok wajah yang kukenal. Aku menyerah. Kukayuh sepedaku pulang. Kembali menyusuri jalan lengang gang-gang di kampungku.
Kehidupan dua orang perempuan itu seperti sebuah poci-poci retak. Perlu tambal sulam untuk menyatukan agar utuh.  Perlu kecermatan dan kesabaran yang amat untuk mengembalikan retakan -retakan tersebut ke tempat semula. Agar bisa kembali jadi wadah. Agar bisa kembali dipandang dan berharga di mata orang lain.
Pintu kamar kontrakan Ning terbuka. Lekas ia masuk dan ia dapati sosok perempuan yang tergeletak di lantai. Rok pendek dan kaos pendeknya tersingkap sedikit. Wajahnya lebam dan memar. Dimulutnya ada darah segar yang menetes mengalir pelan. Rambutnya berantakan. Ia terduduk lesu. Membuncah tangis malam itu. Dan itu bukan untuk anaknya atau suaminya. Tangisnya itu untuk perempuan yang setiap malam ia marahi dan ia pukul dengan gagang sapu. Perempuan yang ia maki setiap ia tak melihatnya sholat. Perempuan yang sebenarnya amat ia sayangi.
“Duh Gusti ... jangan biarkan tragedi terjadi setiap malam di rumahku ini ya Guati”, tangisnya sambil bersimpuh di lantai. Ada rasa yang berkecamuk dalam dada. Bahagia karena dia tak menemukan adiknya dalam mobil polisi tersebut, sedih karena ia temukan adiknya dalam keadaan yang memilukan.
“katakan padaku Sur... mengapa kau seperti ini. Mengapa keadaanmu payah seperti ini? Kamu diapakan oleh lelaki-lelaki hidung belang itu?”, Sur hanya menggeleng. Tangannya bergerak memegang tangan Ning.  Dia terus menggeleng sambil menyeringai.
“Aku tak apa-apa mbak.... aku cuma pengin pulang. Aku cuma pengin pulang kerumah. Tapi polisi itu menggeretku. Mereka memukulku mbak. Tapi aku harus pulang”, desahnya dengan pelan. Wajahnya tak karuan lagi. Wajah ayu dan muda itu jadi layu, tak berani Sur menatap wajah Ning. Wajah perempuan yang amat ia sayangi.
Ning hanya menangis sejadi-jadinya sambil bergumam, “kau bodoh Sur... kau memang bodoh....”.
Malam terlalu malam dan pagi terlambat untuk menitipkan mimpi-mimpi kedua perempuan itu. Pengembaraan mereka tidak pernah selesai. Sebuah poci yang retak benar-benar tak bisa kembali utuh. Dikumpulkannya retakan itu sampai mereka bisa menempelkan ke tempat semula. Meski tdak persis ke tempat semula.
(Solo, 16 Oktober 2017)





Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...