Sabtu, 18 Mei 2024

Saatnya Tutup Mulut

Sesaat setelah beberapa tahun memiliki buku ini, akhirnya saya buka segelnya dan mulai membuka-buka halaman per halaman. Buku Emma Sargent &Tim Fearon "How you Can Talk to Anyone in Every Situation"(2011) membuat saya berhenti di bab-bab di mana saya tertarik membacanya. Secara umum, saya tidak terlalu menyukai buku semacam ini, namun buku tetaplah buku. Takdir membuka dan membacanya muncul saat saya membutuhkannya. Buku ini memang secara garis besar membicarakan bagaimana membangun kepercayaan diri seseorang dalam berkomunikasi dengan siapa saja dan di mana saja.  

Apakah saya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain? Tidak. Sejauh ini saya bisa berkomunikasi dengan baik dan sewajarnya dengan teman sejawat, kenalan atau pimpinan. Saya juga tak jarang tampil di podium meski hanya sebagai Master of Ceremony, melakukan presentasi atau menjadi pemateri. Demam panggung, pasti iya. Namun seiring berjalannya pembicaraan saya bisa menguasainya dengan kemampuan merespon dan menjalin benang merah dengan lawan bicara. Kunci saat saya berbicara adalah bagaimana saya mengontrol perkataan saya agar tidak melukai perasaan orang lain. Jangan sampai kamu memuji orang lain di tempat umum dengan tujuan menyindir seseorang yang lain. 

Dalam bercakap-cakap kita bisa menggambarkannya seperti puncak gunung es. Kurang lebih 10% dari kumpulan massa gunung es berada di atas permukaan air, dan 90% sisanya berada di bawahnya. Artinya saat kita berbincang dengan orang yang baru kenal, kita akan berbicara remeh seperti di mana kamu tinggal, berapa anakmu, berlibur ke mana saja dan profesimu apa. Pada saat ini kita bicara hal yang tidak penting; percakapan kecil. 

Sedangkan 90% dibawah permukaan air tersebut adalah saat kita bicara dengan orang yang sudah lama kita kenal, berada di frekuensi yang sama, panjang gelombang yang sama dan berbicara hal yang mendalam; percakapan yang besar. Di tingkat ini, kita bicara tentang 'memahami orang lain'. Dalam percakapan yang mendalam ini kita akan menyelam untuk mendapatkan sebuah opini dan sebuah 'nilai'. Nilai-nilai yang mewakili semisal: prestasi, keragaman, kejujuran, integritas, keterbukaan, kebebasan atau kebahagiaan.

Coba renungkan, nilai apa saja yang kamu dapat saat berbicara dengan grup obrolan teman sekantormu? atau teman-teman lamamu di SMA? Kamu pasti akan mencari kelompok pertemanan yang nyaman. Dan kamu akan merasakan nilai yang berbeda saat berhadapan dengan berbagai macam tipe orang dengan topik obrolan yang berbeda pula. 

Masalahnya kadang berkomunikasi dengan orang terdekat atau pasangan justru menjadi perkara bukan sepele. Dalam mengeluarkan uneg-uneg rasanya tak semudah ngobrol manis dengan teman sekantor. Mulutmu serasa terkunci meski di dalam dada membuncah ingin keluar. Ini sering terjadi denganku yang notabene sudah berkeluarga selama 17 tahun lebih. Setiap ada permasalahan pasti kita cenderung saling diam. Pribadi kita yang sama-sama introvert sangat susah mengurai persoalan dalam bentuk kata-kata di depan orang yang kita cintai. Bahkan seringnya kita terjebak dalam prasangka-prasangka yang membuat persoalan semakin rumit. 

Jika sudah terlalu lama, kadang salah satu pasangan akan membuka pembicaraan panjang lebar dan merasa kebenaran ada di salah satu pihak. Ber-apologi, berteori dan mengungkap pengalaman-pengalaman masa lalu akan membuat ingatan kita travelling. Kenangan buruk, manis itu bagus untuk menyelamatkan masa-masa sulit sebuah hubungan suami istri. Meski demikian, saya masih terasa sulit untuk membuka pembicaran terlebih dahulu. Mode defensif semacam ini sebenarnya tak begitu bagus dan cukup merugikan jiwa dan raga. Saya akan merasa overthingking dan menyalahkan diri sendiri, merasa bernasib buruk dan merasa ditinggalkan. Semakin diam semakin pikiran sibuk berargumen ke mana-mana. Setelah semua itu, saya pasti tumbang. Sakit saya kambuh

Dan ketika hal demikian muncul, tindakan yang akan saya lakukan adalah "Saatnya Tutup Mulut". Meski di saat yang sama saya akan menangis sejadi-jadinya. Saya ingin tutup mulut untuk tidak curhat pada teman karena sudah merasa tidak nyaman dan tidak kuat. Hal tersebut kadang membuat plong namun akan muncul masalah baru lagi karena banyaknya saran seolah mengerti permasalahan yang sebenarnya, padahal tidak. Banyaknya informasi yang datang tiba-tiba juga membuat kita shock. Ya, hal tersebut akan membuatmu semakin bimbang. Saya ingin tutup mulut karena semua pikiran semakin riuh dan ramai saat dalam kesunyian. Saya benci pikiran-pikiranku sendiri karena keluar deras seperti keran yang baru dibuka. Saya tak ingin ada yang sakit hati jika semua pikiran-pikiran yang bejubel di kepala keluar di depan pasangan saya. Reaksi semacam ini terasa begitu menguras energi, bikin lelah.

Kita butuh ruang sendiri. Butuh menyendiri.  Kita butuh keluar berdua saja. Mencari suasana baru, bukan di rumah dan membicarakannya dalam keadaan waras, bukan saat emosi. Setelah saya bisa mengendalikan amarah dan ego saya, maka lambat laun suasana akan mencair...seperti sungai es yang turun ke bawah. Es itu akan mencair dan mengalir menuju muaranya.

 

Pajang, 18 Mei 2024




Rabu, 15 Mei 2024

Telepon Tengah Malam

 


Ibu, maaf....

Tengah malam membuatmu selalu terjaga. Getarkan sunyi lewat desisan tangismu. Mengutuk nasib buruk yang menimpa anakmu. Bersalah diri. Menopang diri. Sambil mengenang suara gamelan yang tak cukup meraup sedihmu itu. 

Maaf, ibu....

Aku masih jadi anak yang bermimpi buruk. Menangis di bahumu saat terpuruk, bukannya mengajakmu berkeliling mall dan restoran. Tidak seperti anak-anak lain yang sering melambaikan tangan menyapamu dibalik setir mobil ... Dan aku, masih begini saja. Memijit pundakmu sambil terisak. Lalu pulang dengan lelah dan ingin lupa ....

Tidurlah, Ibu...

Malam semakin malam dan kantukmu sudah temaram. Jangan berdebat lagi dengan bayangan (bapak) yang katamu selalu hadir. Katamu dia sering bikin kopi dan baunya bikin  kangen. Jangan ngobrol lama-lama, Bu. Suruh bapak pergi dan istirahat juga, jangan suka kelayapan. Biar pagi datang dengan hangat...membasuh matamu yang lelah

Jadi begini, Ibu ...

Biarkan saja anakmu ini bergelut dengan buku-buku lusuhnya. Bergelayut di bahu mimpi-mimpi yang terserak dan beku di kulkas. Bertualang dengan tangis tawanya karena dunia terlalu luas untuk aku kelilingi. Biarkan saja aku begini bu ...asal jangan menangis lagi!


Nusukan, Mei 2024

Minggu, 12 Mei 2024

Gelora dan Kematian

Aku mungkin tahu kapan aku akan mati. Suatu saat (entah) di mana aku akan menatap wajahmu dengan segenap hati dan masih angkuh tak kan mengatakan 'aku amat mencintaimu sampai mati'. Ucapan norak yang sering diucapkan di lirik lagu itu ... mungkin saja terkelabat dalam batin, sekilas sebelum waktu itu datang.

Namun, kau pun tak kan percaya. Hidupku tak memerlukan kata itu dalam lagu. Aku tak bisa mengucapkannya dengan benar. Aku tak bisa menuliskannya dengan romantis, atau bahkan bisa bilang bahwa 'cinta' itu kujalani dalam hidupku dengan gegap gempita duka tangis yang menghabiskan tulang-tulang rusukku, meniruskan wajahku, dan menurunkan berat badanku. Sial

Aku yakin tak pernah tahu waktu itu datang. Namun, kuyakin bahwa cintaku padamu tak terucap seperti  puisi Sapardi yang menguar ke udara, lepas dan membebaskan kata dari maknanya.

Atau mungkin kita sudah muak. Karena cinta sudah memeluk tubuh kita, menerobos dengan hangat seperti sinar pagi. Kita sudah merasakannya karena sanggup hidup sampai detik ini, karena kita pernah membenci, telah mencintai. Kita telah menangis dan menderita karena mencintai... bukankah kau sudah muak?

Atau kita terus akan muak pada hidup karena kita amat mencintai hidup ini. Mengecup aroma tangis di pagi hari, sapaan cemberut dan pelukan rindu saat jauh. Apa begitu saja ... tak usah lagi ngobrol berat tentang cinta, Toh, hujan sering menyapu di setiap rintiknya dan membakar dingin dengan kuyupnya.


Solo, 13 Mei 2024



Rabu, 08 Mei 2024

REBORN!


"Tidakkah rutinitas yang terlalu banyak akan merenggut gelora dan spontanitas dalam hidup?" (James Clear)

Aku bukan 'morning person', aku payah dalam menghitung, aku payah dalam mengingat nama orang, aku tak tegaan, aku sangat payah dalam memasak dan masih banyak lagi kepayahanku yang lain. Dalam situasi paling kritis dalam hidupku pun aku tak bisa memikirkan diriku sendiri. Untuk mengenal diri sendiri, identitas  sebagai manusia dapat kita lihat dari kebiasaan yang dilakukan. Perubahan identitas adalah kiblat untuk perubahan kebiasaan, demikian ungkap James Clear dalam bukunya Atomic Habits terbitan Gramedia  tahun 2019.

Bukannya sedang gundah dalam pencarian identitas diri, namun saya tergelitik saat membaca buku ini beberapa bab dan sebenarnya yang James Clear coba ungkapkan sangat relevan oleh siapapun tanpa memandang umur. Setua ini saya sadar bahwa kebiasaan yang saya lakukan rutin setiap harinya akan membentuk sebuah identitas secara otomatis. Saya yang terbilang bukan 'morning person' tapi juga terbilang tidak pernah terlambat seharipun dalam hidup saya saat bekerja. Saya termasuk disiplin perihal  waktu meski tak bisa dianggap pula teladan dalam hal discipline manner. Untuk beberapa hal yang tidak saya sukai, saya cenderung berani membangkang dan tak mau pura-pura patuh sepenuhnya. Itulah kelemahan saya, saya tidak bisa 100% disiplin dalam segala hal.

Konyolnya, ketika membaca buku ini saya dengan spontan mengangguk dan mengiyakan beberapa kalimat kunci yang sering saya garis bawahi karena yang dikatakan James Clear bukan omong kosong belaka. Buku ini sebenarnya lebih mengungkapkan bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil, perbaikan kecil meski 1% namun jika hal baik ini kita lakukan secara kontinyu akan membawa dampak yang luarbiasa. Masalahnya, selama dalam prosesnya, sistem yang  dibentuk perlu keyakinan yang kuat untuk mencapai sasaran atau tujuan kita. 

Sial, enak ya sebenarnya ketika mendengar hasil atau pencapaian-pencapaian yang luar biasa para tokoh, artis, atlet yang telah mencapai sasarannya dengan sebuah prestasi dan segala kesuksesannya. Tanpa kita tahu, dibalik kesuksesan tersebut terdapat sistem atau proses yang sangat gila. Dilakukan secara perlahan, rutin, meski hal tersebut remeh dan dipandang sebelah mata dan butuh waktu yang tidak sebentar.

 Pada awalnya, rutinitas sangat kecil ini terkesan tak bermakna, tapi sejalan dengan waktu akan saling membangun dan menjadi bahan bakar untuk kemenanggan-kemenangan lebih besar yang berlipat ganda sampai tingkat uang jauh lebih besar daripada biaya investasi awal. Seorang penulis akan menulis secara rutin setiap hari untuk sebuah bukunya, seorang yang concern akan kesehatan akan jogging setiap paginya agar membentuk tubuh bugarnya, seorang lelaki yang berhenti merokok, suatu saat dapat menolak ajakan teman dengan "maaf, saya bukan perokok".

Pada praktiknya, kegagalan-kegagalan muncul sebelum semua proses dijalani dengan sempurma. Saya sering membuat outline buku yang akan saya tulis. Niat bulat terlihat dari kerangka yang manis tertulis di layar laptop, lengkap dengan schedule di kertas notice warna-warni yang kutempel di meja kantor. Dalam hitungan minggu, angka-angka lewat begitu saja di kalender dan tulisanku berhenti begitu saja. Ini sering terjadi, bukan hanya saat membuat target sebuah buku. Beberapa perilaku habitual yang ingin kucapai sering terlaksana beberapa hari saja dan setelahnya saya merasa itu akan menjadi sebuah gangguan saja. Mencoba, gagal. belajar, mencoba lagi cara lain akan membentuk sebuah penguatan-penguatan diluar sadar dan hal-hal yang merasa tak berguna tersebut pelan-pelan hilang. Begitulah kebiasaan terbentuk.

Hal yang sudah terlaksana yang semula berjalan tak begitu bagus, lambat laun menjadi kebiasaan yang berjalan secara otomatis di rumah. Setelah ibadah magrib, saya dan anak kecil saya tak lupa mengaji. Setelah mengaji, dia akan siap bersama saya dengan buku yang sudah saya siapkan di meja kecilnya. List buku-buku untuknya memang sudah saya siapkan. Saya juga demikian, momen 'no HP' dan waktu khusus untuk membaca sudah menjadi rumus dan berjalan secara otomatis. Baru-baru ini saya juga memulai kebiasaan baru dengan menyediakan toples kecil yang kutulis 'Anak yatim', peraturannya anak-anak setiap hari menyisakan uangnya meski 500 rupiah untuk dimasukkan ke toples. Pada akhir bulan nanti kita kumpulkan dan kita masukkan ke masjid. Hal tersebut sebenarnya sudah lama ada di angan, hanya saja baru benar-benar kulakoni baru-baru ini. 

Tidakkah rutinitas yang terlalu banyak akan merenggut gelora dan spontanitas dalam hidup? Justru gelora itu muncul saat kegagalan-kegagalan muncul dan semua yang direncanakan tidak berjalan baik. Kacau, kecewa, dan muncul perasaan tak berguna adalah percikan-percikan gila yang mengganggu intensitas kemapanan. Einstein bilang, gila jika kau melakukan hal yang sama namun menginginkan hasil yang berbeda. Itu kenapa kita terus belajar, mencoba lagi dengan segala perbaikan dan perubahan. Dentuman-dentuman kecil itu mustahil terlewat dalam hidup, dan kau akan diuji dengan mengulang-ulang upayamu sampai kau gila.

Sasaran atau target? saya tidak terlalu memusingkannya. Saya akan menikmati prosesnya dan menjaga ritmenya. Setelah semua yang kita rencanakan berjalan baik, aku akan merasa lega seperti kau baru saja mandi dan merasakan segar seolah terlahir kembali.

(Solo, 9/5/2024)



 

 

 

 

Minggu, 05 Mei 2024

WHATS WRONG WITH ME?


Aku sudah tak lagi muda. Tanganku keriput dan kurus. Hampir tulang jariku terlihat saking kurusnya. Tapi anehnya, teman-teman menganggap tubuh kurusku adalah porsi ideal bagi perempuan paruh baya. Porsi yang diimpikan ibu-ibu yang gampang gemuk dan perut bergelambir. 

Wajah lelaki muda di depanku itu tersenyum kecut saat aku terkaget dia muncul dari belakang punggungku. "Ibuk terlambat lagi?"
"Iya, maaf kak... di mana ruang bu Hana?", kemudian tangannya menggandeng tanganku sambil menaiki tangga. Diikuti teman-temannya, beberapa anak lelaki berseragam putih biru berlari dibelakang kami. Anak lelakiku satu ini memang pandai bergaul dan satu-satunya anak yang tak suka belajar. Namun dialah yang paling humoris diantara dua saudaranya. Aku bersyukur, hari ini tak ada keluhan dan aduan dari gurunya perihal anakku. Karena, setiap aku datang ke sekolah ini jantungku berdetak kencang. Bersiap mendengar keluhan tentang anakku yang luar biasa ini. Aku bisa menghela napas lega, meski angka-angka di lembar rapor ini juga tak bisa membuatku tersenyum bangga. Aku harus cukup bersabar satu bulan lagi dia lulus dan mencarikan dia sekolah yang cocok dengan minatnya.

Menjadi ibu dari anak-anak sungguh bukan perkara sepele. Entah porsi kebahagiaan yang Tuhan maksud adalah kebahagiaan yang bagaimana, sehingga hal imateri ini bakal sulit didefinisikan serta dapat dirasakan melalui berbagai versi sudut pandang manusia. Dalam buku keparat "Sains & Agama"nya Albert Einstein, menggambarkan jelas pemikiran-pemikiran yang tak sejalan orang jamak lainnya. Meski tak secara gamblang. mengatakan bahwa kebahagiaan itu tak bisa diukur secara ilmiah dengan segala macam hitungan rumit sekalipun. Di sini aku paham meski sambil misuh, karena memang semua tulisannya tak mudah dibaca dalam sekali baca. Kadang, saat pembatas buku itu hilang, dan saat kau membukanya acak seakan kau membaca buku itu pertama kalinya.

Kebahagiaan kecil ini terasa membuncah saat kerumunan anak lelaki dari kelasnya berteriak, "Hati-hati di jalan buk!" dan sempat terdengar ada yang berteriak. "Maliq nakal, Buk..." aku melambaikan tangan sambil berjalan cepat di tengah lapangan sekolah yang luas dan panas.

Perasaan semacam ini sering kusimpan sendiri. Entah dalam berbagai hal, melankolisasi pada peristiwa kecil membawa ke sesuatu secara inklusif. Bahkan orang-orang terdekatpun, tak bisa kubercerita se-detail ini. Sedangkan hal-hal yang mengganggu sekecil apapun dapat mempengaruhi pikiran dan tubuhku secara signifikan dan berkala. Kesedihan, kekhawatiran kecil yang muncul terakumulasi sehingga menggunung di sebuah ruang tersendiri. 

Aku akan merasa menjadi perempuan yang menyedihkan dan menggembirakan dalam waktu yang bersamaan. Bipolar? bisa iya bisa tidak. Aku bukan lagi perempuan muda yang masih labil dan mudah membuncah oleh pertemuan-pertemuan dengan seseorang. Perempuan dewasa kadang tetap merindukan masa-masa itu dan merasa bosan menjadi dewasa. 

Kau tak bisa kemana-mana dengan alasan tertentu. Kau tak bisa menyukai sesuatu karena kau sudah dewasa. Kau tak boleh membenci sesuatu dan harus mudah memaafkan karena kau telah dewasa. Kau tak bisa jadi apa yang sering kau pikirkan karena kau sudah dewasa. Kau tak boleh bermimpi karena kau sudah dewasa. Kau hanya akan terus memikirkan apa yang kau butuhkan karena kau sudah dewasa.

Oh, aku lelah, muak dan tetap tak bisa menangis. Aku bahkan tak bisa menangisi kesedihanku sendiri. 

(Solo, 6 Mei 2024)




Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...