Aku sudah tak lagi muda. Tanganku keriput dan kurus. Hampir tulang jariku terlihat saking kurusnya. Tapi anehnya, teman-teman menganggap tubuh kurusku adalah porsi ideal bagi perempuan paruh baya. Porsi yang diimpikan ibu-ibu yang gampang gemuk dan perut bergelambir.
Wajah lelaki muda di depanku itu tersenyum kecut saat aku terkaget dia muncul dari belakang punggungku. "Ibuk terlambat lagi?"
"Iya, maaf kak... di mana ruang bu Hana?", kemudian tangannya menggandeng tanganku sambil menaiki tangga. Diikuti teman-temannya, beberapa anak lelaki berseragam putih biru berlari dibelakang kami. Anak lelakiku satu ini memang pandai bergaul dan satu-satunya anak yang tak suka belajar. Namun dialah yang paling humoris diantara dua saudaranya. Aku bersyukur, hari ini tak ada keluhan dan aduan dari gurunya perihal anakku. Karena, setiap aku datang ke sekolah ini jantungku berdetak kencang. Bersiap mendengar keluhan tentang anakku yang luar biasa ini. Aku bisa menghela napas lega, meski angka-angka di lembar rapor ini juga tak bisa membuatku tersenyum bangga. Aku harus cukup bersabar satu bulan lagi dia lulus dan mencarikan dia sekolah yang cocok dengan minatnya.
Menjadi ibu dari anak-anak sungguh bukan perkara sepele. Entah porsi kebahagiaan yang Tuhan maksud adalah kebahagiaan yang bagaimana, sehingga hal imateri ini bakal sulit didefinisikan serta dapat dirasakan melalui berbagai versi sudut pandang manusia. Dalam buku keparat "Sains & Agama"nya Albert Einstein, menggambarkan jelas pemikiran-pemikiran yang tak sejalan orang jamak lainnya. Meski tak secara gamblang. mengatakan bahwa kebahagiaan itu tak bisa diukur secara ilmiah dengan segala macam hitungan rumit sekalipun. Di sini aku paham meski sambil misuh, karena memang semua tulisannya tak mudah dibaca dalam sekali baca. Kadang, saat pembatas buku itu hilang, dan saat kau membukanya acak seakan kau membaca buku itu pertama kalinya.
Kebahagiaan kecil ini terasa membuncah saat kerumunan anak lelaki dari kelasnya berteriak, "Hati-hati di jalan buk!" dan sempat terdengar ada yang berteriak. "Maliq nakal, Buk..." aku melambaikan tangan sambil berjalan cepat di tengah lapangan sekolah yang luas dan panas.
Perasaan semacam ini sering kusimpan sendiri. Entah dalam berbagai hal, melankolisasi pada peristiwa kecil membawa ke sesuatu secara inklusif. Bahkan orang-orang terdekatpun, tak bisa kubercerita se-detail ini. Sedangkan hal-hal yang mengganggu sekecil apapun dapat mempengaruhi pikiran dan tubuhku secara signifikan dan berkala. Kesedihan, kekhawatiran kecil yang muncul terakumulasi sehingga menggunung di sebuah ruang tersendiri.
Aku akan merasa menjadi perempuan yang menyedihkan dan menggembirakan dalam waktu yang bersamaan. Bipolar? bisa iya bisa tidak. Aku bukan lagi perempuan muda yang masih labil dan mudah membuncah oleh pertemuan-pertemuan dengan seseorang. Perempuan dewasa kadang tetap merindukan masa-masa itu dan merasa bosan menjadi dewasa.
Kau tak bisa kemana-mana dengan alasan tertentu. Kau tak bisa menyukai sesuatu karena kau sudah dewasa. Kau tak boleh membenci sesuatu dan harus mudah memaafkan karena kau telah dewasa. Kau tak bisa jadi apa yang sering kau pikirkan karena kau sudah dewasa. Kau tak boleh bermimpi karena kau sudah dewasa. Kau hanya akan terus memikirkan apa yang kau butuhkan karena kau sudah dewasa.
Oh, aku lelah, muak dan tetap tak bisa menangis. Aku bahkan tak bisa menangisi kesedihanku sendiri.
(Solo, 6 Mei 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar