Rabu, 21 Mei 2025

Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan masih basah dan airnya muncrat saat kakiku menyerempet dengan tak sengaja. Lelaki di depanku masih mengendarai motor dengan santai dan sesekali menghisap rokoknya. Di jalanan, aku sering melamun dan lebih khusyuk ketimbang melamun di toilet. 

Saat berhenti di lampu merah, aku melanjutkan andai-andaiku dengan lelaki tadi. Ya, pengendara mas- mas itu tepat di depanku, masih dengan rokoknya. Kayaknya nikmat ya, menghisap rokok pas hujan gerimis dan jalanan basah. Aku sering kepengin jadi laki-laki kalau melihat mereka merokok di jalan. Lelaki yang merokok saat berkendara memang lebih natural, ketimbang entah saat nongkrong di cafe atau warung. Aneh, aku memang lebih aneh dari bayanganku sendiri.

Suatu saat  waktu ngobrol dengan temen cewek yang kebtulan perokok juga, ia bertanya, "mbak, kamu gak risih to nongkrong sama aku yang udud-an ini. Banyak yang ngelirik aneh gitu". Ha mbok ben bilangku padanya, "jujur ya, entah kenapa aku gak selurus seperti yang kamu kira. Aku pernah sangat ingin merokok seperti kamu dan ikutan buka jilbab kaya temen-temen waktu pentas. Tapi, aku ingat sekali perjuanganku di SMA waktu pake jilbab masih 2-3 orang dalam satu sekolahan dan aku diantara orang yang ngeyel pake jilbab itu", imbuhku saat dia ngebul pas di depanku. Kopi tinggal separuh.

Sedang aku, melarang suamiku merokok di dalam rumah. Dia pasti merokok di teras atau di pinggir jalan. Tak se rupiahpun dia meminta uang  jika rokoknya habis. Persetan, itu urusanmu! Aku melarang anak-anakku merokok meski mereka laki-laki. Aku berjuang mati-matian agar anakku tidak merokok. Bahkan, aku bisa bertengkar hebat dengan anak keduaku, karena ia jujur pernah mencoba merokok karena temannya. Aku tidak suka saja. Bukan alasan ragawi saja, namun juga idealisme ku yang kolot dengan norma sosial. Meski aku tak menampik, aku sangat pernah ingin merokok. Aku juga bukan saklek bab itu, betul karena tidak suka saja. Setidaknya aku ingin mereka hidup lama ....ya, lama. Tidak seperti bapakku, perokok berat yang meninggal usia 60 an. Seharusnya, ia bisa hidup sesuai dugaanku, Serakah ya!

Sudah menjadi kebiasaanku, mengendarai motor menjadi hal yang sangat menyenangkan karena melamun tadi. Tidak seperti dulu waktu masih umur 20-30an, aku suka ngebut.  Tapi seiring waktu, mengemudi dengan santai membuatku bisa menikmati waktu, merasakan suasana jalanan dan berdialog dengan diri sendiri. Ya, Eyel-eyelan dengan diri sendiri. Mengapa Sigmund Freud yang terkenal dengan kehendak bebasnya itu    justru membuktikan bahwa manusia itu sangat tidak bebas. Meski ia memiliki kehendak bebas atas prakarsanya sendiri, namun ia tetap terikat dengan aturan, etika dan produk pikirannya sendiri. Ini mustahil ditolak. Manusia yang bebas itu masih terbelenggu dengan pikirannya sendiri,

Saat melamun, kau selalu berjibaku dengan semua alasan kamu hidup dan terus melakukan banyak hal meski tak kau sukai. Ini mengapa penulis menulis novel. Itu kenapa Sartre senang membahas Novel sebagai sesuatu yang tidak 'asal'. Dia pernah mengatakan, "novel mendatangi kita dari sisi lain cakrawala, sisi lain samudra, ia berbicara kepada kita tentang matahari pada musim semi yang pahit dan dingin tanpa adanya batu bara untuk menghangatkan.."

Aku mengamininya dengan lantang. Bahwa novel adalah sebuah bentuk pembebasan untuk lepas dari kungkungan hidup yang bebas namun tidak bebas ini. Sungguhpun kau menampik dengan mengatakan kamu bisa melakukan apapun yang kau mau, tapi produk yang kamu lakukan sekarang hanyalah buah pembalasan atas kekecewaanmu pada hidup. Kamu hanya tak bisa mengatakan bahwa aku melakukan hal tersebut karena seseorang, karena keadaan, karena jika tak melakukannya aku akan mati... seperti itulah hidup yang kita jalani saat ini.

Lantas, keberuntungan penulis adalah ia bisa menangkap momen hidupnya dalam kata-kata dan mengumpulkan kekecewaan, kesedihan, gelora dan kematian dengan tulisan. Dalam bukunya "What I Talk About, When I Talk About Running"(2007) Haruki Murakami membahas bagaimana ia menulis justru di tengah kesibukannya melamun saat berlari. Saat latihan lari untuk lomba Marathon, entah di Hokkaido, New York maupun di Athena, Murakami selalu berkutat dengan pikirannya saat melamun. Lamunannya tak kosong dan tak khayal. Ia menggambarkan pekerjaan menulis seperti tukang pandai besi yang tekun melakukan pekerjaannya setiap hari. Asimilasi antara lamunan dan dialognya saat berinteraksi dengan sesuatu yang ia temui menjadi hidup dalam ingatan kolektif dan serupa kontemplasi ia rangkum dalam esai-esai larinya.

Dalam bukunya itu, Murakami secara personal membahas pandangannya sebagai penulis Novel. Bagaimana ia menganggap pekerjaan menulis itu pekerjaan manual sekaligus mental. Ia menulis untuk menjadi sebuah karya buku membutuhkan waktu yang tak singkat. Meskipun menulis hanya mengetikkan kata-kata dan menunggu sampai tulisanmu jadi, kau anggap hal itu selesai. Realitasnya, menulis butuh mental yang tidak dipakai orang dalam menggunakan energi mereka untuk mengangkat kursi atau secangkir kopi. Tidak. Dan tidak hanya butuh intelektualitas dan ketenangan di ruang kerja . Akhirnya Murakami mengatakan bahwa secara mentalitas, penulis harus memiliki daya tahan dan ketabahan. 

Tak mungkin seorang penulis hebat memiliki tubuh yang tak sehat. Daya tahannya dalam melahirkan halaman per halaman tulisan menguras energi dan pikiran. Lihat saja buku-buku Leo Tolstoy, Dan Brown, J.K. Rawling yang menghasilkan tiga sampai lima ratusan halaman dan tetap menarik dibaca sampai akhir. Tidak cukup hanya kuat secara fisik, namun juga psikis dalam menjaga alur cerita, kebosanan dan kebuntuan. Setelahnya, kesabarannya dalam menulis akan menuai hasilnya saat cerita yang ia tulis dapat dibaca oleh pembaca. 

Meski demikian, Murakami berani berkata bahwa bekerja sebagai penulis novel itu sungguh tidak sehat. Ia akan tenggelam di ruang kerjanya dan berkutat dengan pikirannya sampai mentok. Setelahnya, makan, minum dan merokok menjadi satu-satunya pelarian. Ia mengakui sendiri, saat mengerjakan salah satu novelnya tubuhnya jadi gemuk, suka gelisah dan tak pernah latihan berlari lagi. Ia terpuruk dengan pola hidupnya yang mengerikan itu. Dari situ, ia mulai ingin berlari lagi. Ia ingin hidup lebih lama dan ikut lomba Marathon meski umurnya tak lagi muda.

Sebagai pembaca, membaca novel itu seperti kamu bisa merasakan perasaan, emosi, dan lamunan seseorang. Ya, persis saat aku mengendarai motor selama berangkat dan pulang kerja. Aku sangat bisa merasakan dialog yang kulakukan dalam diam sekaligus berisik di kepala. Mungkin hal tersebut yang membuat Murakami tak mau melewatkan apapun yang terlewat di mata, telinga, betis, telapak kaki, otot-otot, nafas dan pikirannya saat berlari. Dan benar, saat kau membaca buku "What I Talk About, When I Talk About Running", apa yang Murakami rasakan bisa benar-benar kau rasakan seolah kau mengalaminya. Ya gilanya, setelah membaca buku ini aku benar-benar ingin berlari. Meski tak jadi atlet Marathon dan tak kuat membeli sepatu 'Mizuno'.


 

Selasa, 13 Mei 2025

Punggung Lebar itu

 Ku senang-senang saja hanya melihat punggungmu dari belakang. Kata Ibu, punggung lebar itu siap menerima hujan dari langit. Siap memelukmu saat malam. Siap menampung air matamu, dan kuat menerima beban hidup yang gila ini.

Tapi anakmu ini, tak punya punggung itu, bu! Punggungku bungkuk. Tubuhku kurus, tak berlemak. Punggungku tidak tegap seperti bapak. Dan benar saja, aku sudah sinting saja hidup seperti ini

Lelaki berpunggung lebar itu tak menoleh. Dia hanya lewat dan pergi menghilang di punggung malam. Gelap menelan neraka di ujung jalan dengan congkak. Tuhan sengaja mengecat hitam pada langit agar tubuhku hilang dan lumat tertelan malam.

Mimpi Perempuan Paruh Baya

Api terlihat membumbung di kilau matamu. Itu bukan neraka kan, bu? Itu seperti kelopak yang merekah di malam hari. Mataku berair, geloramu berapi. Sungguhpun Tuhan tak ke mana-mana, Dia menantimu di perempatan jalan. Ditemani tukang becak yang lelap di mimpi-mimpinya.

Sungguh Tuhan tak ke mana-mana, bu. Hanya saja kau penat dan menyangkalnya mati-matian. Bahwa senja kau anggap ingkar janji. Bahwa hujan lelah menanggung sepi. Bahwa bulan sering nangis di kuburan, sendiri. Bahwa kau terkungkung di bola mata yang berapi-api dan penuh gejolak.

Setelahnya, kau minta mati dalam dekapan malam dibalut luka, katanya akar-akar pohon beringin itu kulkas penyimpan lupa: dingin dan beku.

Di pojok Kelas

Aku suka duduk di pojok belakang.
Mepet dinding dan tak terlihat. Aku suka diam, bersandar di tembok dan merasakan betapa dingin tubuhnya, hangat degupnya

Aku akan menempelkan pipi dan telingaku, sambil menguping apa yang dibicarakan orang lain. Tentu aku lebih diam dari tembok itu sendiri. Dinding ini tidak angkuh dan kita sudah berteman lama. Ya, kan?

Aku bisa menyatu dengannya. Aku bisa memejamkan mata berjam-jam di kelas. Tentu, karena aku suka diam. Aku tak suka bicara, aku malas melihat ... aku suka mendengar degup jam dinding. Tentu, karena aku biasa menunggu. 

Takdir Seorang Pemimpi

Alarm berdering. Tubuh mulai menggeliat. Membersihkan sisa mimpi semalam. Kau tahu, wajahmu hanya muncul samar-samar. Lebih jelas namamu yang kutulis dalam kontak telpon.

'Jangan hubungi aku. Abaikan saja saat berpapasan'. Pesan itu yang terakhir kau kirim. Sepaginya, kubiarkan kopi pahit yang kubenci tersaji di atas meja. Kuteguk dan kutemukan nasib sial terasa di lidah.

Andai takdir bisa kukarang, maka pertemuan X dan Y dalam genomku, akan kupertemukan sesuka hati, dengan tarian sepasang kromosom yang bergelimang cinta.

Aiih, jika itu karanganku saja ....

Sabtu, 08 Maret 2025

Indonesia Emas

Indonesia itu pintar lo

Banyak lulusan sarjana yang bercita-cita jadi pejabat

kelak menguasai bangsa, lalu menjajah rakyat sendiri

 

Indonesia itu hebat

punya klasemen liga korupsi yang sangat kompetitif

Fantastis betul jumlahnya, bukti Indonesia itu kaya raya

 

Indonesia itu gokil bro!

banyak perpustakaan yang dibangun 

dan menjadi tempat paling sunyi di muka bumi ini

bener-bener sepi.... sepi manusia, sepi pikiran

 

Indonesia itu keren,

rakyat lebih senang menghujat guru yang sering dapat gratifikasi dari muridnya: 

permen bentuk cinta, coklat pink, dan nasi liwet bikinan ibunya

 

Indonesia itu lucu,

negara demokrasi biar rakyatnya bebas berekspresi,

giliran menyuarakan uneg-unegnya langsung diciduk, dihakimi

ah, gak diam salah - diam lama-lama edan

 

Apa jadi bodoh saja?

 

 

Rabu, 30 Oktober 2024

Se'kere' inikah sate kere?


 

Setiap pulang sore dari kerja, di jalanan aku selalu mikir sayur atau lauk apa yang harus aku beli buat makan malam. Sebelum masuk gang ke rumahku, aku melewati penjual sate yang buka setiap sore. Aroma kebulan asap yang membakar sate menusuk hidung. Sambil menoleh, kupelankan laju sepeda motorku. Rupanya bukan sate biasa. Itu sate kere! teriakku dalam hati. Terus terang sate itu sudah jarang kutemui di kota ini. Hanya kadang kutemui saat pasar malam, yang buka musiman. Kupikir selama ini sate yang dijual ibu itu sate ponorogo yang biasanya.

Aku putar balik tanpa pikir panjang. Meski kutahu anak-anakku pasti tidak suka dan hanya aku dan Eyang yang mau menyantap 'old-food' ini. Saat menunggu saya berpikir kenapa orang jaman dahulu menamai sate ini dengan sate 'kere'. Toh jika kita menilik asal muasal makanan ini dibuat, histori masa kompeni langsung kembali. Masa jaman susah ketika rakyat jelata juga ingin menikmati sensasi makan nikmat ala ningrat berbahan daging itu. Kawula alit ini tentu tak bisa beli daging yang harganya mahal dan bisa menyesal seumur hidup dengan menghabiskan uang simpanannya hanya untuk menikmati sate.

Kere sendiri merupakan makna yang secara konotatif disematkan pada kata miskin yang semiskin-miskinnya. Itu kenapa orang jawa menggunakan kata 'kere' sebagai umpatan yang dapat meluapkan emosinya 'to the deep ocean'. Anehnya kata tersebut memang pantas dicap kan pada rakyat jelata pada jaman dahulu yang tidak layak memakan makanan kelas atas tersebut bagaimanapun caranya. Sate yang berbahan daging tersebut, di-adakan di depan mata dengan bahan yang mirip dan berasa  seperti daging betulan. Apesnya, bahan penting kere justru bukan jerohan sapi seperti usus, hati, jantung dan kikil sapi namun tempe gembus yang terbuat dari ampas (sisa) pembuatan tahu dan tempe. Tempe gembus yang direbus terlebih dahulu sebelum dibakar dengan arang kemudian terasa nikmat jika disajikan dengan saus kacang. Tentu saus kacang sate kere berbeda rasa dengan sate ponorogo pada umumnya. Dari sinilah aku paham kenapa sate ini dinamakan begini amat. Se-kere ini lah yang menunjukkan hirarki terbawah dalam makna kata miskin. 

Ya, tempe gembus adalah sisa-sisa pembuatan tahu yang bagi orang lain seharusnya dibuang. Sedangkan jerohan: usus, hati dan kikil sapi adalah sisa atau sampah yang tak termakan untuk sajian makanan orang ningrat. Bagi orang jawa, keterbatasan justru membuatnya jadi kreatif. Bahan-bahan yang sebenarnya sampah (ampas) diolah bisa menjadi makanan enak. Jerohan yang dibuang dan dianggap bukan daging itu bisa ditusuk di lidi dan bisa jadi sate. Kekreatifan para kawulo alit tersebut bisa bermanfaat dan menepis keinginan mengincip makanan kelas atas dengan sama-sama bernama sate. Ironisnya, penamaan tersebut memang disepakati sebagai bentuk protes sosial atas kondisi gap yang terlampau jauh di masyarakat Indonesia jaman dahulu. Kere vs Ningrat tidak akan kejam dalam konotasinya jika dinamai miskin vs ningrat. Satire masyarakat belum tentu dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu. Makanan tetaplah makanan, yang memiliki hirarki kekuasaan berdasarkan status keberadaanya di strata sosial ekonomi. Perwujudan bahasa bisa masuk dalam perjuangan anti penjajah waktu itu. Namun, kebiasaan mendengar kere untuk jaman sekarang terasa risih dan kasar meski kita tahu seluk beluknya, kronologis pragmatis.

Makanan kreatif senikmat itu belum tentu bernama indah dan estetik. Sejauh ini, makanan jawa yang memiliki nama khas dan aneh di telinga gen Z justru memiliki nilai historis dan mencipta jalan memori ke masa silam. Suar kenangan muncul di ingatan orang-orang tua yang pernah bergesekan pada jaman tersebut. Meski aku hanya mengincip sisa-sisa jajahan dalam segi budaya, kuliner dan pendidikan, aku masih sanggup menerimanya. Takjub dengan penamaan, istilah dengan maknanya yang 'jomplang' dari segi semantik dan pragmatis justru memiliki segi nostalgic. 

Pernah menganggap konyol dengan segala bentuk pemaknaan yang melo dan sentimentil, toh nyatanya aku selalu bernostalgia dengan makanan atau tempat-tempat yang menggiringku ke masa lalu. Sate kere memiliki tempat tersendiri untukku. Sate kere cukup sering kutemui di kampungku waktu kecil. Ada Simbah-simbah yang berjualan menaiki sepeda onthel dan sering berhenti di depan rumah. Masalahnya, dulu saking aku sukanya dengan sate tempe gembus ini aku dilarang terlalu sering oleh ibuku. Aku hanya beli jika benar-benar diperbolehkan ibuku. Entah karena ngirit atau apa, ibu jarang membelikanku sate kere. Kesukaanku dengan sausnya sering aku habiskan di akhir sambil kutambahi nasi. Lontong yang cuma sedikit dengan tempe dan kikil nya langsung kulahap habis, kusisakan sausnya untuk "gong" nya sampai kusapu dengan jariku atau kadang dengan 'suru' atau sendok yang terbuat dari daun pisang yang dilipat jadi dua. Pada akhirnya, sampai aku dewasa sate kere selalu menjadi makanan yang menempati ruang 'nostalgia' tersendiri. 


Solo, 31 Okt 2024


Selasa, 15 Oktober 2024

“JIKAPUN TIDAK, AKU AKAN BERKATA IYA” (sebuah monolog)

 



Aku   :  Adam…Eva …kuciptakan untuk diriku sendiri. Jika aku jadi orang jahat, maka aku akan senang hati menjadi pembunuh. Satu orang yang ingin kubunuh dengan tanpa belas kasih adalah aku sendiri. Namun jika aku ditakdirkan jadi manusia yang berhati malaikat, maka aku akan jadi malaikat betulan… yang bisa menyelamatkan diriku sendiri dari kungkungan kegelapan dan terkubang di lubang yang dalam ….Biarlah mereka saling bunuh dan menyelamatkan. Sampai mana aku bisa kuat menghadapinya. Menghadapi kekacauan ini.

 

Adam  :

“Seperti cerahnya matahari pertama yang kulihat…

matamu bersinar menyorotkan kehidupan, Eva

Rambutmu legam, seperti segenggam arang dan segelap malam yang kutemui.

Bahasamu lembut, selembut angin sore yang berhembus berbisik di telinga dedaun,

Entah sampai kapan ….aku terus mengusut jejakmu,

Aku berjanji menyambut yang dijanjikan Tuhan padaku

O, sampai kapan aku mencarimu?

 

Di mana kamu, Eva?”

 

SurTejo:

(berteriak-teriak)

“Haaaiiii….. Mbah Adaammm, kami di sini…..!

Kau bisa mendengarku??

Aku bisa mendengar suaramu  dari sini.

Aku tadi bertemu dengan Nenek Eva lo Mbah …

Kenapa kau tak menoleh wahai, mbah Adam?

Aku sudah menemukan yang ingin kau temukan

Aku punya alat dengan radar ini, mudah untuk mencari sesuatu yang hilang….

Kau tentunya bisa belajar dengan mencari pengetahuan di manapun itu, bukan?

Lalu kau akan bisa menemukan ini itu lalu kau bisa menamai mereka yang kau temui,  meniru apapun yang kau lihat, memakan apa yang mereka makan, dan mengenakaan baju yang mereka kenakan…. Sebuah pohon pengetahuan yang luarbiasa bukan?

 

 

Halah kamu bicara apa to Sur…sur …

Jangan sok-sokan kamu
wajahmu saja biasa-biasa saja, otakmu juga gak besar-besar amat,

Kenapa kau terus nerocos bab kebidupan?

Betulkan dulu tuh, bajumu yang compang camping
sepatumu yang jebol dan rumahmu yang reot
dunia tak menerima kekurangan manusia seperti itu

Kau harus cantik mulus ganteng gagah dan kaya untuk bisa hidup

Permak dulu wajahmu itu
dunia itu kejam, Sur!

Kejam Sekali!!!”

 

Eva:

“Aku telah berjalan jauuhhh sekali, Adam
menyeberang lautan, naik gunung berkelok kelok menuruni lembah dan berlarian di padang rumput yang tak berbunga…..dan musim selalu berubah

Selalu berubah

 

Bagaimana kabarmu di sana, Adam

Mungkin permainan ini bisa berubah cara mainnya,

Berubah endingnya

Kita hanya dilahirkan demi program yang dirancang…

Kita sudah mengawalinya, Adam…

Kapan kita bisa mengakhirinya?

Apa kita bisa me-reset permainan ini dan bisa mengubah cara mainnya?

 

Namun, kita tahu benar…

Permainan ini hanya bisa dimainkan kita berdua

Dan aku belum menemukanmu”

 

SurTejo:

(Surti berteriak)

“Wahai mbah Adam …..Nenek Eva …..
kemarilah, kalian bisa bertemu di sini!
menengoklah Adam Eva….
Suaraku habis terus meneriakimu…

 

Sur…Surti, sudahlah,

Mereka yang seharusnya bertemu di sini atau di sana itu bukan urusanmu

Dandanlah demi esok bisa bertemu matahari

Kita perlu cantik dan ganteng agar bisa hidup layaknya manusia jaman ini

Demi bisa foto keren dan mempostingnya dengan bangga

Demi matahari yang setiap hari kalem menemui kita dan mengantar bekalmu di tempat kerja

Kita bisa melaut, berselancar kapanpun sejauh mungkin tanpa repot-repot bergerak

 

Tejo-tejo… kau salah

Kita bisa hidup layak seperti saat ini karena Mbah Adam Nenek Eva bisa bertemu

Seperti dalam kitab takdir

Adam dan Eva yang gagal bertemu itu suatu keniscayaan dunia lain yang perlu dipertimbangkan….

Dunia bakal edan,,,, dunia sudah edan sekarang

Gila seperti kamu!

Yang selalu menganggap wajahku jelek dan otakku kecil!

Biarpun kulitku hitam, badanku pendek, hidungku pesek dan aku tidak kaya..

HIDUP hidung pesek…HIDUP kulit coklat…HIDUP rambut kutuan. Hidup hidupaannnnnn!

(sambil mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang mengepal)

Aku layak memperjuangkan hidup ini

Demi perjuangan Mbah Adam dan nenek Eva yang bertemu dengan penuh duka cita!

Entah terlalu cepat atau terlambat mereka bertemu…

Atau bahkan GAGAL BERTEMU

Hentikan omong kosongmu itu….

Aku mencintai hidup ini, Tejo

 

Minggir… aku akan menanam padi, merumput di kebun beternak sapi

Atau menjahit baju untuk anak-anakku

Mengocehlah sesukamu ….

 

(Berteriak)

Wahai Mbah Adam …Nenek Eva …. Selamat berjuang

Semoga kalian segera bertemu!

(membatin diam…amat diam)

Atau tidak sama sekali!

Tidak sama sekali…..

 

Solo,  2023-2024

 

Sabtu, 07 September 2024

Jam Satu Pagi (2)

 

Manusia itu sangat membosankan. Terlebih manusia dewasa, itu yang dipikirkan Rolan. Dia jadi satu-satunya lelaki di Resto yang  tak banyak bicara. "Sangat membuang energi", pikirnya. Saat bekerja, ia hanya akan mengingat pesanan dari para pembeli meski ia sudah mencatatnya di kertas. Kemudian, diulanginya dengan sapuan matanya yang tajam. "Ah, ya... tak mungkin salah"

Kertas itu dicapitnya diantara pesanan lain sesuai urutan. Japitan kertas yang melenggok-lenggok di tali kenur itu telah lama dijadikan point of view para tukang masak di dapur. Dua orang chef, senior dan asistennya dan satu lagi fokus di minuman. Resto ini memang tidak begitu ramai, namun ada musimnya ketika jam-jam malam selalu disinggahi para pemuda yang nongkrong sambil mengerjakan tugas. Laptop dan kertas-kertas yang dibawa kadang lebih memenuhi meja ketimbang makanan di menu yang mereka pesan.

"Rolan, antar pesanan ke meja 9", lelaki berambut ikal acak itu lebih lebat di bagian atas. Dia langsung mengangguk. Tak banyak cakap memang. Dia menganggap, kecakapan manusia berkomunikasi seringkali digunakan melampaui batas. Ia menganggap Resto tempatnya ia bekerja ini lebih sebagai tempat mengobrol ketimbang tempat makan. Jika dikatakan Cafe juga tidak karena di sini tak ada minuman alkohol. Juga bukan Cafe Kopi yang sekarang menjamur di mana-mana. 

Lelaki itu menikmati fungsi mata dan telinganya dengan baik dengan menjadi observer tingkat tinggi. Itu karena yang ia senangi hanya memandang dan mendengar apa yang sekilas pelanggan obrolkan. Ia senang mendengar obrolan di meja-meja terdekat kala ia menunggu chef membuatkan pesanannya. Kadang sambil menata menu yang sudah ditinggalkan, ia bersih-bersih meja dan menguping. Tentu saja, karena tidak sengaja dan memang tak bisa dihindari. 

Kata-kata yang ia dengarkan mungkin melebihi 10.000 kosakata dalam sehari. Ya, apa yang di dengarkan selama ia bekerja di situ. Itu kenapa, ia yakin mulutnya tak akan disia-siakan untuk menambah ketololan hidup manusia yang mereka habiskan dengan bercakap-cakap sampai berjam-jam dengan orang banyak dan dengan orang yang berbeda.

Kosa kata yang ia ucapkan sebatas jawaban saat pelanggan menanyakan menu yang direkomendasikan. Atau hanya ingin menunjukkan eksistensi mulutnya, agar tak dikatai 'orang bisu' oleh teman-temannya. "Ah, sungguh merepotkan ya" 

Perihal demikian, Rolan menjadi peka terhadap suara-suara meski dengan volume yang kecil. Meski di Restonya selalu menyetel lagu-lagu slow, kupingnya juga peka terhadap musik-musik yang jusru cenderung mengubah mood saat kau duduk menyendiri menunggu teman di situ. Ia mencoba memahami orang-orang dengan ekspresi kesepian, kesulitan, atau kecemasan meski akan bertemu orang yang ia nantikan. Ia butuh musik yang bagus. Itu pun sering ia tak sejalur dengan temannya yang suka menyetel lagu-lagu dengan beat yang kencang. Bukan rock. Tak ada list rock di tempat macam ini. Kebiasaan teman-temannya di sana selalu menyetel lagu indie yang nge-hits baru-baru ini.

Jika dia tak tahan dengan lagu-lagu itu, biasanya ia nekat menggantinya dengan Carla Bruni atau Norah Jones yang familiar. Namun Jazz lebih keparat bikin pusing ketika instrumen nya justru membuatmu melayang membayangkan entah apa saja yang lewat di kepala. Rolan tak ambil pusing, Gary Coleman akan selalu menjadi temannya saat ia membuka Resto di pagi dengan menyapu, mengepel dan mengelap meja satu persatu. Seperti ritual. Temannya akan membiarkannya demikian, karena memang lelaki itu senang bekerja dan mereka terbantu dengan kerja kerasnya selama ini. Mereka sesekali berkelakar "Itulah kenapa ia tak kehabisan tenaga, sampai malampun ia akan mengepel tempat ini di saat kita sudah kehabisan napas"

"Karena kau banyak bicara, tahu!' lalu tawa renyah mereka menjalar di seluruh ruangan terbuka itu. Bagusnya, tempat itu berupa open space dengan bangunan joglo di tengah dan dikelilingi taman di sekelilingnya. Taman sederhana dengan kerikil-kerikil di bawahnya dan tanaman rambat menutupi pagar tinggi. Perokokpun  tak jadi umpatan pelanggan lain yang terganggu dengan asapnya. Dia juga perokok berat. Rolan akan minggir ke belakang dapur untuk menyulut rokoknya secepat kilat, sebelum namanya diteriakkan lantang dari mikropon depan.

Malam ini gerimis agak berat. Tidak deras amat. Perempuan itu sendiri masuk dan menerobos taman dengan santai seolah hari tidak hujan. Di hentakkan pelan kakinya di pinggir tangga pertama sampai ia melenggang ke arahku.

"Mas, tolong minta Tisu." dia mengangguk dan membawakan Tissu sekotak dan menghampirinya di pinggir Joglo. 

"Mengapa duduk di situ sih. Kan masih banyak tempat di antara banyak tempat duduk", pikirnya.

"Di sini dingin, tidak ke tengah aja?" tawarnya pada perempuan itu lirih karena pasti hempasan air hujan akan sampai di tubuhnya yang kurus itu.

"Hujannya masih bisa dinikmati. Tak apa.Terima kasih tisunya" lalu diusapnya pada laptop yang terkena hujan. Tasnya yang kecil ia hempaskan di sampingnya. 

"Eh, maaf ... ada tas plastik besar seukuran ini?" tunjuknya pada laptop.

"Sial, temanku mengembalikannya tanpa tas. Kurang ajar bukan?" Rolan mengamati gerak-geriknya dan mengangguk. Matanya takjub melihat perempuan itu. Entah takjub di sebelah mana, ia terus menatap dan mendengarkan perempuan itu bicara kecil. Mengumpati temannya itu dengan ekspresi wajahnya yang sepertinya baik-baik saja. 

Setelah mengantar pesanan Roti bakar dan lemon tea-nya, ia duduk di seberang wanita itu. Agak jauh namun bisa melihatnya dengan jelas. Posturnya seolah sedang meneliti menu di dekat kasir. Matanya sesekali menatap perempuan ber sweater coklat. Ia kemudian meletakkan bokongnya dengan nyaman di kursi anyaman dan merokok. Pelanggan agak sepi. Hanya perempuan itu dan segerombol pemuda yang mengerjakan tugas sambil mengobrolkan sesuatu. Kali ini telinganya yang peka, membiarkan lagu Raim Laode dengan tenang. Ia tak menaruh perhatiannya pada obrolan anak-anak muda yang masih idealis dan agak cengengesan itu. Kelakarnya kadang mengganggu penglihatannya yang tertuju pada perempuan itu. 

Tiba-tiba sepi setelah pelanggan terakhir itu keluar dari Resto. Ia menatap perempuan berambut cepak dan kira-kira berumur 40-an itu menenteng tas plastik untuk membungkus laptopnya.  Wajahnya masih segar. Masih hidup menurutnya. Ia mengangguk pada Rolan sebelum keluar Resto, tanda terima kasih karena telah menampung umpatannya meski tak lama. Lalu sempat melebarkan tangannya untuk menyapu tetes-tetes hujan yang menempel di dedaunan Cataleya pinggir taman. 

"Aneh perempuan itu" batinnya

Lalu diambilnya buku menu dan merapikan tempat makan perempuan tadi. Tangannya berhenti memegang kertas nota kosong,  dan membaca tulisan tak rapi di sisi belakangnya.

~Jika membenci itu suatu hal yang bagus, maka yang kubenci pertama adalah diriku sendiri. Karena aku memang membenci diriku sendiri melebihi orang yang membenciku~

Dikatonginya  kertas itu di kantong celananya. Entah kenapa, kalimat yang dibacanya, langsung terekam di kepalanya, seperti ia selalu mengingat menu setiap pelangganya. Jelas dan tak mungkin salah ....


(bersambung)

 

 

Rabu, 04 September 2024

Jam Satu Pagi (1)

File naskah masih dipandanginya dengan aneh di layar laptopnya. Perempuan itu sudah memandanginya selama berjam-jam dan kata-kata tidak bisa keluar. Ia sesekali memencet lagu yang berhenti sendiri terlalu lama di youtube. Ia putar kembali kemudian ia tatap tulisannya sambil menggeser layar naik turun. Ia mengumpat namun yang keluar dari mulutnya hanya desahan kasar. Lalu disambarnya buku Murakami. Dibacanya lipatan halaman yang hampir tuntas. Ia mendengus lagi ....

"Kenapa Gregor Samsa muncul di tulisan orang jepang ini. Sial", ia mengumpat tanpa maksud apapun. 

Ia lelah menggeledah isi pikirannya dan tak menemukan apa-apa. Sebenarnya pikirannya tak lagi kosong. Namun bisa dikatakan tidak berisi juga. Ia berusaha mati-matian sedari pagi menulis sesuatu di layar laptopnya dan bersikeras meneruskan naskahnya minim satu bab.

"Eh, aku mungkin bisa meneruskan cerita orang. Yang kudengar rumpang, di telinga sebelah atau melihat dengan mata kiri saja. Bisa... bisa ...ah atau menerjemahkan kebisuan seseorang?"

Ia mendesah berat dan melemparkan buku Murakami di samping Laptop. Ia pikir dengan membaca sesaat, kebuntuannya akan hilang.

"Seharusnya aku sembunyikan dulu buku ini sampai naskahku selesai" 

Ia memang suka tergoda membaca buku yang setengah terbaca, di sela-sela tuntutannya menulis. Dia bahkan pengangguran, tapi ia merasa ingin jadi orang yang berguna minimal untuk dirinya sendiri. Menulis buku, yang bahkan buku-buku terdahulunya laku sedikit. Ia sudah senang jadi penulis tak terkenal. Takdir menghendaki demikian, mungkin.

 Ia tahu lelaki yang tinggal di lantai bawah ... suaminya selalu bertanya pertanyaan yang sama di setiap berpapasan di rumah, "Apa sudah selesai?"

"Ayo turun makan, atau setelah kau selesaikan itu dulu?"  membuatnya tambah gila. Ia merasa, fase beromansa selama berumah tangga hanya beberapa bulan setelah menikah. Setelahnya. Ia ingin mengubur diri hidup-hidup di kamar kerjanya ini. Ia merasa tertekan hidup di rumah ini dengan segala macam thethek bengeknya. Sedang suaminya selalu membicarakan bagaimana bisa lepas dari bujukan teman--teman kantornya untuk memulai program anak. Hal itu justru membuatnya merasa bersalah. Di rumah ini, hanya perbincangan itu yang ia hindari.

Perempuan itu kemudian kembali tekun meneliti tulisannya di layar dari atas kemudian ia geser ke bawah dengan seksama. Seolah ingin menemukan jarum kecil diantara tumpukan jerami. Sesekali ia membetulkan tulisannya dan menghapus beberapa. Dan lagi ..... ia berhenti di kalimat terakhir. Di bawahnya tertulis judul sub bab yang sudah ia tulis dengan huruf tebal dan digaris bawah.

"Eh, gila kalau lama-lama begini aku pilih mati saja", ia menirukan dialog Samsa dan perempuan bungkuk yang ada dalam buku Murakami dengan suara lantang. Namun suara itu memang lebih pas diucapkan pada situasinya. Putus asa.

Setelah itu telponnya berdering. Di tengah malam seperti itu, dering telpon rumahnya yang nyaring  sungguh membuatnya seperti kiamat. Membuatnya terkaget dan terbuyar konsentrasi. Tubuhnya yang terpaku di kursi menggeliat malas. 

"ini jam 1 pagi, ini siapa!" suaranya serak

Ia membayangkan ada telpon iseng dan akan menakut-nakutinya. Namun, yang terdengar hanya hembusan nafas yang berat di seberang telpon.

"Jika aku mati hari ini, apa kau bersedih?"

"Siapa ini? apa aku mengenalmu?" desahan di seberang telpon menghilang sesaat .....sedang ia menunggu berharap suara itu kembali tersambung dengannya. Namun, tidak! Di seberang telpon hanya terdengar suara mendengung panjang.

Kepalanya mendongak ke langit-langit kamar. Dipastikan sekali lagi, Diingatnya berulang kali. Apa pernah mendengar suara khas itu? Sial, dan ini jam 1 pagi. Ia masih mengingat-ingat suara lelaki itu. Apa teman suaminya? Dan nomer rumah ini hanya sedikit yang tahu. Telepon rumah kabel kalah dengan Handphone. 

Pada masa itu neneknya memasang telepon rumah untuk Toko Mesin Jahit di lantai bawah. Selain itu, nenek juga menerima jahitan atau perbaikan baju. Kakek neneknya memang tekun menjaga usahanya, sampai suatu ketika ibunya menikah dengan seorang lelaki yang gila judi. Toko yang seharusnya diwariskan pada ibunya, tinggal rak-rak kaca kosong yang sudah buram, tersisa satu mesin jahit kuno. Ayahnya sudah menjual beberapa mesin jahit yang bagus untuk melunasi hutang-hutangnya. Dan ibunya, sakit-sakitan karena depresi. Entahlah, hidup macam apa hingga ia terjebak di rumah toko yang berumur lebih dari umurnya. Kosong dan tua. 

"Akan kutunggu besok jam 1 pagi lagi. Apa ia akan menelponku?"

"Setidaknya aku tahu dia masih hidup"


(bersambung)








Sabtu, 18 Mei 2024

Saatnya Tutup Mulut

Sesaat setelah beberapa tahun memiliki buku ini, akhirnya saya buka segelnya dan mulai membuka-buka halaman per halaman. Buku Emma Sargent &Tim Fearon "How you Can Talk to Anyone in Every Situation"(2011) membuat saya berhenti di bab-bab di mana saya tertarik membacanya. Secara umum, saya tidak terlalu menyukai buku semacam ini, namun buku tetaplah buku. Takdir membuka dan membacanya muncul saat saya membutuhkannya. Buku ini memang secara garis besar membicarakan bagaimana membangun kepercayaan diri seseorang dalam berkomunikasi dengan siapa saja dan di mana saja.  

Apakah saya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain? Tidak. Sejauh ini saya bisa berkomunikasi dengan baik dan sewajarnya dengan teman sejawat, kenalan atau pimpinan. Saya juga tak jarang tampil di podium meski hanya sebagai Master of Ceremony, melakukan presentasi atau menjadi pemateri. Demam panggung, pasti iya. Namun seiring berjalannya pembicaraan saya bisa menguasainya dengan kemampuan merespon dan menjalin benang merah dengan lawan bicara. Kunci saat saya berbicara adalah bagaimana saya mengontrol perkataan saya agar tidak melukai perasaan orang lain. Jangan sampai kamu memuji orang lain di tempat umum dengan tujuan menyindir seseorang yang lain. 

Dalam bercakap-cakap kita bisa menggambarkannya seperti puncak gunung es. Kurang lebih 10% dari kumpulan massa gunung es berada di atas permukaan air, dan 90% sisanya berada di bawahnya. Artinya saat kita berbincang dengan orang yang baru kenal, kita akan berbicara remeh seperti di mana kamu tinggal, berapa anakmu, berlibur ke mana saja dan profesimu apa. Pada saat ini kita bicara hal yang tidak penting; percakapan kecil. 

Sedangkan 90% dibawah permukaan air tersebut adalah saat kita bicara dengan orang yang sudah lama kita kenal, berada di frekuensi yang sama, panjang gelombang yang sama dan berbicara hal yang mendalam; percakapan yang besar. Di tingkat ini, kita bicara tentang 'memahami orang lain'. Dalam percakapan yang mendalam ini kita akan menyelam untuk mendapatkan sebuah opini dan sebuah 'nilai'. Nilai-nilai yang mewakili semisal: prestasi, keragaman, kejujuran, integritas, keterbukaan, kebebasan atau kebahagiaan.

Coba renungkan, nilai apa saja yang kamu dapat saat berbicara dengan grup obrolan teman sekantormu? atau teman-teman lamamu di SMA? Kamu pasti akan mencari kelompok pertemanan yang nyaman. Dan kamu akan merasakan nilai yang berbeda saat berhadapan dengan berbagai macam tipe orang dengan topik obrolan yang berbeda pula. 

Masalahnya kadang berkomunikasi dengan orang terdekat atau pasangan justru menjadi perkara bukan sepele. Dalam mengeluarkan uneg-uneg rasanya tak semudah ngobrol manis dengan teman sekantor. Mulutmu serasa terkunci meski di dalam dada membuncah ingin keluar. Ini sering terjadi denganku yang notabene sudah berkeluarga selama 17 tahun lebih. Setiap ada permasalahan pasti kita cenderung saling diam. Pribadi kita yang sama-sama introvert sangat susah mengurai persoalan dalam bentuk kata-kata di depan orang yang kita cintai. Bahkan seringnya kita terjebak dalam prasangka-prasangka yang membuat persoalan semakin rumit. 

Jika sudah terlalu lama, kadang salah satu pasangan akan membuka pembicaraan panjang lebar dan merasa kebenaran ada di salah satu pihak. Ber-apologi, berteori dan mengungkap pengalaman-pengalaman masa lalu akan membuat ingatan kita travelling. Kenangan buruk, manis itu bagus untuk menyelamatkan masa-masa sulit sebuah hubungan suami istri. Meski demikian, saya masih terasa sulit untuk membuka pembicaran terlebih dahulu. Mode defensif semacam ini sebenarnya tak begitu bagus dan cukup merugikan jiwa dan raga. Saya akan merasa overthingking dan menyalahkan diri sendiri, merasa bernasib buruk dan merasa ditinggalkan. Semakin diam semakin pikiran sibuk berargumen ke mana-mana. Setelah semua itu, saya pasti tumbang. Sakit saya kambuh

Dan ketika hal demikian muncul, tindakan yang akan saya lakukan adalah "Saatnya Tutup Mulut". Meski di saat yang sama saya akan menangis sejadi-jadinya. Saya ingin tutup mulut untuk tidak curhat pada teman karena sudah merasa tidak nyaman dan tidak kuat. Hal tersebut kadang membuat plong namun akan muncul masalah baru lagi karena banyaknya saran seolah mengerti permasalahan yang sebenarnya, padahal tidak. Banyaknya informasi yang datang tiba-tiba juga membuat kita shock. Ya, hal tersebut akan membuatmu semakin bimbang. Saya ingin tutup mulut karena semua pikiran semakin riuh dan ramai saat dalam kesunyian. Saya benci pikiran-pikiranku sendiri karena keluar deras seperti keran yang baru dibuka. Saya tak ingin ada yang sakit hati jika semua pikiran-pikiran yang bejubel di kepala keluar di depan pasangan saya. Reaksi semacam ini terasa begitu menguras energi, bikin lelah.

Kita butuh ruang sendiri. Butuh menyendiri.  Kita butuh keluar berdua saja. Mencari suasana baru, bukan di rumah dan membicarakannya dalam keadaan waras, bukan saat emosi. Setelah saya bisa mengendalikan amarah dan ego saya, maka lambat laun suasana akan mencair...seperti sungai es yang turun ke bawah. Es itu akan mencair dan mengalir menuju muaranya.

 

Pajang, 18 Mei 2024




Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...