Minggu, 26 Oktober 2014

ILALANG KERING BELAKANG RUMAH

[ bagian1 ]
Matahari perlahan sembunyi di balik gunung. Tak kuhiraukan HP bergetar di meja. Kutatap warna-warni senja di ujung barat. Awan lembut menyapu langit. Kali ini HP ku bergetar lama. Kuraih HP mungil merk lawas yang sudah terkelupas huruf-hurufnya. Kulihat dengan seksama. Nomor pribadi muncul di layar. Kembali kuletakkan di meja teras. Malam segera turun, hari mulai gelap. Jalan di depan rumahku terasa lengang. Rumahku yang terhitung masih baru dan masih berbau cat ini terletak jauh dari hiruk pikuk kota dengan segala gemerlap lampu-lampu di penjuru tempat. Suara katak tak jarang bersahutan karena beberapa hari ini hujan mengguyur.
Ada dua-tiga rumah yang berdiri di sekitar rumahku. Selebihnya terhampar sawah dan kebun jati yang sengaja ditanam para pemilik tanah yang tinggal di kota. Masih membutuhkan 10 menit lagi untuk sampai perkampungan penduduk yang padat. Setelah perceraian setahun yang lalu, aku mencoba bangkit dan membeli sedikit lahan yang terletak di pelosok desa ini. Selain murah, aku dan anak-anak dapat jauh dari orangtuaku juga orangtua mantan suamiku. Dengan begini, aku agak tenang dan ada alasan untuk tidak selalu mengantar kedua anakku pada mereka setiap akhir pekan.
Ohh....senja yang mahal. Dimana lagi aku menyaksikan suasana tenang seperti ini selain di halaman rumahku yang masih belum tuntas. Meski mulai gelap,  goresan warna oranye dan merah itu masih menyisir langit. Rumput  ilalang masih menyembul dibalik pagar bambu yang dibuat dari sisa-sisa bangunan rumah ini.  Wajahmu tampak disana. Berdiri dengan kemeja putih, lengan dilipat sampai siku. Rambutmu sudah panjang sekarang. Kau juga menatap senja yang tinggal sepotong. Angin bergemuruh dari selatan. Kau masih tenang dalam alam pikiranmu. Aku merasakan ketenangan itu. Ada rindu ..... juga sesuatu yang kau tunggu. Dan malam merambat naik. Lampu di halaman belakang ini cukup menerangiku. Kutulis surat lagi.
.....
Ini malam kelima aku disini. Mencari padang ilalang. Tempat yang sering kita datangi, berlarian dan rebahan di rumput hijau. Kau dengan kaki telanjangmu, dan aku dengan buku kecil lusuh  dan pensil  yang kutali ujungnya dengan pita merah pembatas buku. Ya, kita akan selalu  menunggu sebuah goncangan dahsyat untuk kita tulis, tapi kadang kau berseteru bahwa kehadiran yang lembut tak bersuara itupun lebih dahsyat dari sebuah bom. Kami tertawa bersama....dan diam. Bertemu dengan ujung hari di padang ilalang tanpa berpikir waktu akan menghapus perlahan seperti awan cumulus nimbus yang tersapu kuas matahari.
                                               ( Aku & kau_di padangku sendiri )
Kulipat kertas itu lalu kumasukkan ke dalam amplop. Kumasukkan di kotak coklat, bersama tumpukan amplop lain didalamnya.  Lalu napas ini berhembus perlahan. Kau sudah tak terlihat di belakang rumah. Aku segera masuk. Anak-anak masih setia dengan acara Televisinya. Kututup tirai di kaca jendela. Biar malam menemanimu disana.
--0—
Seharian ini suara-suara kacau datang dari penjuru ruang. Kuliah padat memenuhi 2 hari akhir pekanku dengan kejam. Sabtu dan minggu tidak ada sisa meski untuk mengantar Fikri dan Dzikri ke taman kota. Tapi mereka sudah terbiasa dengan ketidakhadiranku di hari minggu. Mereka pasti berakhir pekan dengan ayahnya di kota. Kuliah penyetaraan jurusan ini hanya membutuhkan 3 semester untuk dapat mengantongi ijazah setara dengan ketentuan dinas. Teman-teman pengajar di kotaku nampak kerepotan ketika bertemu di minggu pagi. Saling menyapa dan berjalan bersama sambil bergumam keadaan anak-anak mereka yang ditinggal bersama mertua atau suami, bahkan kadang dipercayakan pada tetangga. Ah, betapa mengerikan bekerja di negeri ini. Para pengajar yang notabene belum diangkat Pegawai Negeri Sipil selalu direpotkan dengan peraturan dinas yang tiba-tiba datang di meja kerja. Mereka memang lihai membuat derita kaum proletar semakin mengerikan. Yah, faktanya memang  guru non PNS berpendapatan dibawah buruh pabrik.
“Bu Elsa...Bu Neni!”, teriak seorang teman yang tergopoh-gopoh membawa 4 buku tebal dari area parkir. Kami berdua menoleh dan berhenti menunggu seorang perempuan bertubuh kecil dan genit itu mendekat.
“Ah...senyum kalian seolah menjawab semua pertanyaanku Bu”, sentilnya sambil menata nafasnya yang tersengal-sengal.
“Bu Riski-bu Riski ....sejak kapan kita selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Umur dan ‘kengeyelan’ kita yang menentukan kapan tugas itu tuntas tepat pada waktunya”, jawabku sekenanya.
“maksudnya”, teriak bu Neni tepat di telingaku. Hah, reflek kupingku kututup dengan buku.
“yah kita sudah tidak se-idealisme waktu muda bu...nah biasanya tugas kita kepepet selesai meski nggak tahu betul atau salah, ngeyel saja kita anggap betul....haha”, argumenku ditutup dengan tawa renyah kami bertiga. Tak sadar kelas-kelas yang kami lewati sudah tenang, tanda dosen-dosen telah duduk manis menunggu para mahasiswanya.
Kami bertiga hanya berpandangan dan nyengir bebarengan. Satu persatu kami masuk kelas yang berada di pojok sekolah. Nampak tenang....dan uhh aku dan bu Neni selalu kebagian duduk di deret  kedua dari tembok, baris kedua. Meja ini sengaja ditandai bagi mahasiswa yang terlambat. Dan baris pertama selalu dikosongkan karena meja-meja sering diubah posisi ketika presentasi kelompok. Praktis, kami berdualah yang selalu bertatap muka paling frontal dengan dosen ketika berdiri di depan.
“dosennya mana bu? Tanyaku pada bu Tanti yang duduk dibelakangku.
“Tuh...”, tunjuknya dengan bolpen Standart hitam pada lelaki berhem kotak-kotak dan sedang memasang proyektor dengan pak Fuad ketua kelasku.
“Ohh...tapi, kayak bukan Pak Basuki ya?”, tolehku lagi pada Bu Tanti.
“Ah kau ini, kemarin kan pamitan mau naik Haji...jadi ni diganti ma Dosen baru”
“Ohh....”, jawabku manggut-manggut sambil mengeluarkan alat tulis, modul kuliah Penelitian Tindakan Kelas dan buku tulis.
“ketika lelaki berbaju kotak-kotak itu duduk di meja dosen, mataku terbelalak....Astaghfirullah Ya Rabbi,  kuletakkan kedua tanganku di dada, rasanya sesak sekali. Langsung kupalingkan muka ke belakang dan kuaduk-aduk tas ransel bagian depan.
“ada apa Bu?”, tanya bu Neni melihat gelagatku yang aneh. Aku hanya geleng-geleng dan segera melepas kacamata dan kuganti dengan contact-lens. Aku ingin menjadi orang lain. Bukan perempuan sama yang kau kenal dulu. Meski kutahu kau tak bodoh
“loh kok?”, tunjuk bu Neni pada mataku yang masih beradapsi dengan contact lensaku. “Kacamataku agak kendor sekrupnya, untung bawa lensa kontak...”, jawabku sambil kedip-kedip. Aduh, kenapa dadaku masih berdegup kencang. Apa benar dia mas Abdi? Yah setelah 9 tahun lebih tak bertemu. Kabar terakhir dia jadi dosen di Lampung. Ohh, ini azab atau berkah? Tanganku berkeringat hebat. Dingin.
“Selamat pagi Ibu-ibu...juga bapak-bapak sekalian. Maaf ijinkan saya memperkenalkan diri di depan guru-guru yang sebenarnya lebih berpengalaman dibanding saya yang mungkin seumuran dengan bapak ibu sekalian atau bahkan seumuran Ibu saya”, suaranya datar dan jauh dari ramah. Tapi wajah yang begitu hangat membuat mataku tak berani memandangmu. Oh please...jangan berdiri didepanku,atau lupakan ingatanmu  pada wajahku.
“Baik....langsung saja ya, nama saya Abdi Rasidi, selama pak Basuki di tanah suci sayalah yang akan menemani bapak ibu sekalian mempelajari mata kuliah penelitian tindakan Kelas....”, dan selama kau memperkenalkan diri, kau mulai beranjak dari tempat dudukmu dan mulai menghampiri titik fokus kami di kelas. Yah, tepatnya di depan mejaku dan bu Neni. Kupegang tangan bu neni yang ada di paha kanannya. Reflek, kupegang agar aku tidak  lari keluar kelas. Tiba-tiba bu Neni menoleh padaku tepat saat matanya menatapku. Agak lama. Yah, suaramu tiba-tiba berhenti saat menatapku. Kutepis matamu dan kupandang wajah Bu Neni yang keheranan, atau mungkin geli saat tangannya kuremas. Aku panik. Lalu agak mereda saat menepukkan tanganmu sekali ...keras dan membangunkan.
”Baiklah, saya pengen kenalan juga ya sama bapak ibu sekalian...”, kau mulai memanggil nama teman-teman satu persatu dan rasanya semakin tak karuan...pengen rasanya keluar kelas dan berlari tak kembali.
“Bu, kamu sakit ya....ijin pulang aja gak papa,  tak bilangke pak Abdi”, ahh jangan sebut nama itu lagi. Ya bu pengen sekali pulang, namun keinginan untuk menghilang itu sama kuatnya untuk sekedar mendengar suaramu saat kuliah. Gusti, jika kutahu rencana ini mungkin aku akan ......ahh kuusap wajahku berulang kali. Tiba-tiba pundakku diguncang-guncang dari belakang.
“Ya pak....”, jawabku tanpa menatap wajahmu dan kuangkat telapak tanganku ketika namaku dipanggil berulangkali. Gagap sekali saat ingin membuka mulut.
“Bu Elsa Setyarini? Mengajar dimana Bu?”, sahutmu sambil berdiri menghampiriku. Tepat dihadapanku. Sekali lagi kucari pegangan, kali ini kuremas-remas buku tulis yang kebetulan kubawa. Kupandang Bu Neni yang juga menatapku lama, mungkin juga yang lain karena aku  terlihat gugup. Lama untuk menjawab pertanyaan remeh semacam itu.
“Al-islam pak...di SD Al-Islam satu”, dan kuliahpun berjalan tidak seperti yang kubayangkan. Aku lebih banyak merenung dan gelagapan saat ditanya. Kenapa kau datang mas. Kenapa kau muncul dengan skenario seperti ini? Bukankah kita janji untuk bertemu saat kita sudah 40 tahun. Ah tidak, itu hanya janjiku sendiri saja untuk menemuimu jika kita sudah berumur 40 tahun. Gusti....janji macam apa ini?
Aku langsung melesat keluar kelas. Berjalan cepat, agak berlari. Menjauh dari laki-laki berkemeja kotak-kotak itu. Lari dari kenyataan bahwa aku sangat rindu padamu. Betapa dekatpun saat ini, aku tak ingin semua ini terjadi. Aku tak ingin menjadi lemah karena kekecewaan di masa lalu. Kita telah menemukan ruang kita masing-masing. Aku tak ingin masuk lagi ke ruang itu. Kaupun demikian, jangan pernah mampir lagi ke ruangku yang sempit ini. Terlalu sesak. Biarku mengingatmu dengan caraku sendiri. Tidak seperti ini.
Kuberhenti di taman kecil belakang Mushola. Agak sepi. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang duduk dan menyantap bekal yang dibawa dari rumah. Maklum kuliah padat dari pagi sampai sore. Kuletakkan tas ranselku yang berat perlahan. Kulepas kontak lensaku dengan hati-hati. Mati-matian rasanya menahan pusing karena kurang bisa berdaptasi. Segera kupasang kacamata tebalku dan  kuusap dengan kain. Perubahan wajahku, tanpa kacamata, wajah agak putih (kata teman-teman sih), dan tidak pernah kenal celana jins lagi.. apa tidak berubah sedikitpun sampai kau masih bisa mengenaliku? gerutuku dalam hati.
Masih merasa aneh dengan kejadian pagi ini. Alur cerita yang terlalu cepat. Kuteguk air mineral yang agak keras dilidah ini dengan agak kesal. Kuraih HP di saku yang dari tadi kubiarkan di mode ‘silent’. Kuaktifkan ‘google play musik”. Kupencet Norah Jones. Lagunya yang bisa menenangkanku barangkali.
Huh...kubiarkan kepala ini kuletakkan di meja bundar ini. Suara Norah Jones masih melenggang dan sesekali kubarengi liriknya yang kebetulan sama dengan suasana hatiku....”oh would you let me go now...”, namun tiba-tiba kulihat sepasang sepatu hitam, hmm yang pasti bukan bu Neni. Kuangkat kepalaku perlahan....oh jangan Tuhan, aku belum siap.
“album tahun 2009”, suaramu terdengar serak mesti lagu itu terdengar lebih parau. Aku hanya menatap wajahmu yang sudah agak berbeda denganmu terakhir kita bertemu. Yah, saat kau datang di pernikahanku waktu itu. Sekarang lebih berisi. Wajahmu tak lagi tirus, jelas kau bahagia sekarang.
“Oh Pak Abdi .... maaf saya kaget”, jawabku untuk menghilangkan kegugupan.
“kau memanggilku Pak? ... kenapa tadi kau begitu konyol”, tanyamu tiba-tiba dan seolah tahu aku ingin melarikan diri.
“Konyol? Maaf saya tidak mengerti Pak”
“kau .... kau Elsa kan? Bukan Elsa yang lain?”, tanyanya heran melihat keanehanku.
“iya pak.... apa kita sudah bertemu sebelumnya?”, tukasku memberanikan diri, sambil mematikan lagu dan kumasukkan ke saku.
“Elsa...”
“Maaf pak atas ketidaknyamanan ini, mungkin Bapak salah orang. Permisi...”, timpalku tanpa melihat tatapan matamu yang masih bertanya-tanya. Kuseret tasku yang berat dan kugantung di pundak kiriku. Kutinggalkan taman itu dengan rasa yang tak karuan. Berantakan. Entah mas....akupun bertanya-tanya mengapa aku melakukan hal ini Barangkali aku harus mengejar senja yang tersisa sedikit. Bertemu denganmu. Bukan denganmu yang sekarang. Mulutku komat-kamit tak karuan :
“Mata... ilalang....senja... muram... mata....ilalang .... senja... muram...tolong jangan pergi mas ....tunggu aku dibelakang rumah.  Mata...ilalang...senja...muram....mata.....” aku hampir tak ingat lagi jalan mana yang kulalui untuk pulang.
[ pukul 17.05 ]

--bersambung--

  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manusia (tidak) Bebas

Malam itu angin bergerak binal. Habis hujan dan jalanan aspal sudah mulai agak kering. Basah, beberapa dedaunan yang rimbun di pinggir jalan...