[ bagian1 ]
Matahari
perlahan sembunyi di balik gunung. Tak kuhiraukan HP bergetar di meja. Kutatap
warna-warni senja di ujung barat. Awan lembut menyapu langit. Kali ini HP ku bergetar
lama. Kuraih HP mungil merk lawas yang sudah terkelupas huruf-hurufnya. Kulihat
dengan seksama. Nomor pribadi muncul di layar. Kembali kuletakkan di meja
teras. Malam segera turun, hari mulai gelap. Jalan di depan rumahku terasa
lengang. Rumahku yang terhitung masih baru dan masih berbau cat ini terletak
jauh dari hiruk pikuk kota dengan segala gemerlap lampu-lampu di penjuru
tempat. Suara katak tak jarang bersahutan karena beberapa hari ini hujan
mengguyur.
Ada
dua-tiga rumah yang berdiri di sekitar rumahku. Selebihnya terhampar sawah dan
kebun jati yang sengaja ditanam para pemilik tanah yang tinggal di kota. Masih
membutuhkan 10 menit lagi untuk sampai perkampungan penduduk yang padat.
Setelah perceraian setahun yang lalu, aku mencoba bangkit dan membeli sedikit
lahan yang terletak di pelosok desa ini. Selain murah, aku dan anak-anak dapat
jauh dari orangtuaku juga orangtua mantan suamiku. Dengan begini, aku agak
tenang dan ada alasan untuk tidak selalu mengantar kedua anakku pada mereka
setiap akhir pekan.
Ohh....senja
yang mahal. Dimana lagi aku menyaksikan suasana tenang seperti ini selain di
halaman rumahku yang masih belum tuntas. Meski mulai gelap, goresan warna oranye dan merah itu masih
menyisir langit. Rumput ilalang masih
menyembul dibalik pagar bambu yang dibuat dari sisa-sisa bangunan rumah ini. Wajahmu tampak disana. Berdiri dengan kemeja
putih, lengan dilipat sampai siku. Rambutmu sudah panjang sekarang. Kau juga
menatap senja yang tinggal sepotong. Angin bergemuruh dari selatan. Kau masih
tenang dalam alam pikiranmu. Aku merasakan ketenangan itu. Ada rindu ..... juga
sesuatu yang kau tunggu. Dan malam merambat naik. Lampu di halaman belakang ini
cukup menerangiku. Kutulis surat lagi.
.....
Ini malam kelima
aku disini. Mencari padang ilalang. Tempat yang sering kita datangi, berlarian
dan rebahan di rumput hijau. Kau dengan kaki telanjangmu, dan aku dengan buku
kecil lusuh dan pensil yang kutali ujungnya dengan pita merah pembatas
buku. Ya, kita akan selalu menunggu
sebuah goncangan dahsyat untuk kita tulis, tapi kadang kau berseteru bahwa kehadiran
yang lembut tak bersuara itupun lebih dahsyat dari sebuah bom. Kami tertawa
bersama....dan diam. Bertemu dengan ujung hari di padang ilalang tanpa berpikir
waktu akan menghapus perlahan seperti awan cumulus
nimbus yang tersapu kuas matahari.
( Aku & kau_di padangku sendiri )
( Aku & kau_di padangku sendiri )
Kulipat
kertas itu lalu kumasukkan ke dalam amplop. Kumasukkan di kotak coklat, bersama
tumpukan amplop lain didalamnya. Lalu
napas ini berhembus perlahan. Kau sudah tak terlihat di belakang rumah. Aku
segera masuk. Anak-anak masih setia dengan acara Televisinya. Kututup tirai di
kaca jendela. Biar malam menemanimu disana.
--0—
Seharian
ini suara-suara kacau datang dari penjuru ruang. Kuliah padat memenuhi 2 hari
akhir pekanku dengan kejam. Sabtu dan minggu tidak ada sisa meski untuk
mengantar Fikri dan Dzikri ke taman kota. Tapi mereka sudah terbiasa dengan
ketidakhadiranku di hari minggu. Mereka pasti berakhir pekan dengan ayahnya di
kota. Kuliah penyetaraan jurusan ini hanya membutuhkan 3 semester untuk dapat
mengantongi ijazah setara dengan ketentuan dinas. Teman-teman pengajar di
kotaku nampak kerepotan ketika bertemu di minggu pagi. Saling menyapa dan
berjalan bersama sambil bergumam keadaan anak-anak mereka yang ditinggal
bersama mertua atau suami, bahkan kadang dipercayakan pada tetangga. Ah, betapa
mengerikan bekerja di negeri ini. Para pengajar yang notabene belum diangkat
Pegawai Negeri Sipil selalu direpotkan dengan peraturan dinas yang tiba-tiba
datang di meja kerja. Mereka memang lihai membuat derita kaum proletar semakin
mengerikan. Yah, faktanya memang guru
non PNS berpendapatan dibawah buruh pabrik.
“Bu
Elsa...Bu Neni!”, teriak seorang teman yang tergopoh-gopoh membawa 4 buku tebal
dari area parkir. Kami berdua menoleh dan berhenti menunggu seorang perempuan
bertubuh kecil dan genit itu mendekat.
“Ah...senyum
kalian seolah menjawab semua pertanyaanku Bu”, sentilnya sambil menata nafasnya
yang tersengal-sengal.
“Bu
Riski-bu Riski ....sejak kapan kita selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Umur
dan ‘kengeyelan’ kita yang menentukan kapan tugas itu tuntas tepat pada
waktunya”, jawabku sekenanya.
“maksudnya”,
teriak bu Neni tepat di telingaku. Hah, reflek kupingku kututup dengan buku.
“yah
kita sudah tidak se-idealisme waktu muda bu...nah biasanya tugas kita kepepet
selesai meski nggak tahu betul atau salah, ngeyel saja kita anggap
betul....haha”, argumenku ditutup dengan tawa renyah kami bertiga. Tak sadar
kelas-kelas yang kami lewati sudah tenang, tanda dosen-dosen telah duduk manis
menunggu para mahasiswanya.
Kami
bertiga hanya berpandangan dan nyengir bebarengan. Satu persatu kami masuk
kelas yang berada di pojok sekolah. Nampak tenang....dan uhh aku dan bu Neni selalu
kebagian duduk di deret kedua dari
tembok, baris kedua. Meja ini sengaja ditandai bagi mahasiswa yang terlambat.
Dan baris pertama selalu dikosongkan karena meja-meja sering diubah posisi
ketika presentasi kelompok. Praktis, kami berdualah yang selalu bertatap muka
paling frontal dengan dosen ketika berdiri di depan.
“dosennya
mana bu? Tanyaku pada bu Tanti yang duduk dibelakangku.
“Tuh...”,
tunjuknya dengan bolpen Standart hitam pada lelaki berhem kotak-kotak dan
sedang memasang proyektor dengan pak Fuad ketua kelasku.
“Ohh...tapi,
kayak bukan Pak Basuki ya?”, tolehku lagi pada Bu Tanti.
“Ah
kau ini, kemarin kan pamitan mau naik Haji...jadi ni diganti ma Dosen baru”
“Ohh....”,
jawabku manggut-manggut sambil mengeluarkan alat tulis, modul kuliah Penelitian
Tindakan Kelas dan buku tulis.
“ketika
lelaki berbaju kotak-kotak itu duduk di meja dosen, mataku
terbelalak....Astaghfirullah Ya Rabbi,
kuletakkan kedua tanganku di dada, rasanya sesak sekali. Langsung
kupalingkan muka ke belakang dan kuaduk-aduk tas ransel bagian depan.
“ada
apa Bu?”, tanya bu Neni melihat gelagatku yang aneh. Aku hanya geleng-geleng
dan segera melepas kacamata dan kuganti dengan contact-lens. Aku ingin menjadi orang lain. Bukan perempuan sama
yang kau kenal dulu. Meski kutahu kau tak bodoh
“loh
kok?”, tunjuk bu Neni pada mataku yang masih beradapsi dengan contact lensaku.
“Kacamataku agak kendor sekrupnya, untung bawa lensa kontak...”, jawabku sambil
kedip-kedip. Aduh, kenapa dadaku masih berdegup kencang. Apa benar dia mas
Abdi? Yah setelah 9 tahun lebih tak bertemu. Kabar terakhir dia jadi dosen di
Lampung. Ohh, ini azab atau berkah? Tanganku berkeringat hebat. Dingin.
“Selamat
pagi Ibu-ibu...juga bapak-bapak sekalian. Maaf ijinkan saya memperkenalkan diri
di depan guru-guru yang sebenarnya lebih berpengalaman dibanding saya yang
mungkin seumuran dengan bapak ibu sekalian atau bahkan seumuran Ibu saya”,
suaranya datar dan jauh dari ramah. Tapi wajah yang begitu hangat membuat
mataku tak berani memandangmu. Oh please...jangan berdiri didepanku,atau
lupakan ingatanmu pada wajahku.
“Baik....langsung
saja ya, nama saya Abdi Rasidi, selama pak Basuki di tanah suci sayalah yang
akan menemani bapak ibu sekalian mempelajari mata kuliah penelitian tindakan
Kelas....”, dan selama kau memperkenalkan diri, kau mulai beranjak dari tempat
dudukmu dan mulai menghampiri titik fokus kami di kelas. Yah, tepatnya di
depan mejaku dan bu Neni. Kupegang tangan bu neni yang ada di paha kanannya.
Reflek, kupegang agar aku tidak lari
keluar kelas. Tiba-tiba bu Neni menoleh padaku tepat saat matanya menatapku. Agak
lama. Yah, suaramu tiba-tiba berhenti saat menatapku. Kutepis matamu dan
kupandang wajah Bu Neni yang keheranan, atau mungkin geli saat tangannya
kuremas. Aku panik. Lalu agak mereda saat menepukkan tanganmu sekali ...keras
dan membangunkan.
”Baiklah,
saya pengen kenalan juga ya sama bapak ibu sekalian...”, kau mulai
memanggil nama teman-teman satu persatu dan rasanya semakin tak karuan...pengen
rasanya keluar kelas dan berlari tak kembali.
“Bu,
kamu sakit ya....ijin pulang aja gak papa, tak bilangke pak Abdi”, ahh jangan sebut nama itu
lagi. Ya bu pengen sekali pulang, namun keinginan untuk menghilang itu sama
kuatnya untuk sekedar mendengar suaramu saat kuliah. Gusti, jika kutahu rencana
ini mungkin aku akan ......ahh kuusap wajahku berulang kali. Tiba-tiba pundakku
diguncang-guncang dari belakang.
“Ya
pak....”, jawabku tanpa menatap wajahmu dan kuangkat telapak tanganku ketika
namaku dipanggil berulangkali. Gagap sekali saat ingin membuka mulut.
“Bu
Elsa Setyarini? Mengajar dimana Bu?”, sahutmu sambil berdiri menghampiriku.
Tepat dihadapanku. Sekali lagi kucari pegangan, kali ini kuremas-remas buku
tulis yang kebetulan kubawa. Kupandang Bu Neni yang juga menatapku lama,
mungkin juga yang lain karena aku
terlihat gugup. Lama untuk menjawab pertanyaan remeh semacam itu.
“Al-islam
pak...di SD Al-Islam satu”, dan kuliahpun berjalan tidak seperti yang
kubayangkan. Aku lebih banyak merenung dan gelagapan saat ditanya. Kenapa kau
datang mas. Kenapa kau muncul dengan skenario seperti ini? Bukankah kita janji
untuk bertemu saat kita sudah 40 tahun. Ah tidak, itu hanya janjiku sendiri
saja untuk menemuimu jika kita sudah berumur 40 tahun. Gusti....janji macam apa
ini?
Aku
langsung melesat keluar kelas. Berjalan cepat, agak berlari. Menjauh dari laki-laki
berkemeja kotak-kotak itu. Lari dari kenyataan bahwa aku sangat rindu padamu. Betapa
dekatpun saat ini, aku tak ingin semua ini terjadi. Aku tak ingin menjadi lemah
karena kekecewaan di masa lalu. Kita telah menemukan ruang kita masing-masing.
Aku tak ingin masuk lagi ke ruang itu. Kaupun demikian, jangan pernah mampir
lagi ke ruangku yang sempit ini. Terlalu sesak. Biarku mengingatmu dengan
caraku sendiri. Tidak seperti ini.
Kuberhenti
di taman kecil belakang Mushola. Agak sepi. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang
duduk dan menyantap bekal yang dibawa dari rumah. Maklum kuliah padat dari pagi
sampai sore. Kuletakkan tas ranselku yang berat perlahan. Kulepas kontak
lensaku dengan hati-hati. Mati-matian rasanya menahan pusing karena kurang bisa
berdaptasi. Segera kupasang kacamata tebalku dan kuusap dengan kain. Perubahan wajahku, tanpa
kacamata, wajah agak putih (kata teman-teman sih), dan tidak pernah kenal
celana jins lagi.. apa tidak berubah sedikitpun sampai kau masih bisa mengenaliku?
gerutuku dalam hati.
Masih
merasa aneh dengan kejadian pagi ini. Alur cerita yang terlalu cepat. Kuteguk air
mineral yang agak keras dilidah ini dengan agak kesal. Kuraih HP di saku yang
dari tadi kubiarkan di mode ‘silent’. Kuaktifkan ‘google play musik”. Kupencet Norah
Jones. Lagunya yang bisa menenangkanku barangkali.
Huh...kubiarkan
kepala ini kuletakkan di meja bundar ini. Suara Norah Jones masih melenggang
dan sesekali kubarengi liriknya yang kebetulan sama dengan suasana
hatiku....”oh would you let me go now...”, namun tiba-tiba kulihat sepasang
sepatu hitam, hmm yang pasti bukan bu Neni. Kuangkat kepalaku perlahan....oh
jangan Tuhan, aku belum siap.
“album
tahun 2009”, suaramu terdengar serak mesti lagu itu terdengar lebih parau. Aku
hanya menatap wajahmu yang sudah agak berbeda denganmu terakhir kita bertemu.
Yah, saat kau datang di pernikahanku waktu itu. Sekarang lebih berisi. Wajahmu
tak lagi tirus, jelas kau bahagia sekarang.
“Oh
Pak Abdi .... maaf saya kaget”, jawabku untuk menghilangkan kegugupan.
“kau
memanggilku Pak? ... kenapa tadi kau begitu konyol”, tanyamu tiba-tiba dan
seolah tahu aku ingin melarikan diri.
“Konyol?
Maaf saya tidak mengerti Pak”
“kau
.... kau Elsa kan? Bukan Elsa yang lain?”, tanyanya heran melihat keanehanku.
“iya
pak.... apa kita sudah bertemu sebelumnya?”, tukasku memberanikan diri, sambil
mematikan lagu dan kumasukkan ke saku.
“Elsa...”
“Maaf
pak atas ketidaknyamanan ini, mungkin Bapak salah orang. Permisi...”, timpalku
tanpa melihat tatapan matamu yang masih bertanya-tanya. Kuseret tasku yang
berat dan kugantung di pundak kiriku. Kutinggalkan taman itu dengan rasa yang
tak karuan. Berantakan. Entah mas....akupun bertanya-tanya mengapa aku
melakukan hal ini Barangkali aku harus mengejar senja yang tersisa sedikit. Bertemu denganmu.
Bukan denganmu yang sekarang. Mulutku komat-kamit tak karuan :
“Mata...
ilalang....senja... muram... mata....ilalang .... senja... muram...tolong
jangan pergi mas ....tunggu aku dibelakang rumah. Mata...ilalang...senja...muram....mata.....”
aku hampir tak ingat lagi jalan mana yang kulalui untuk pulang.
[
pukul 17.05 ]
--bersambung--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar